Oleh : Salamuddin Daeng
Sebagaimana dilansir media Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan Keberatan Susun Roadmap Rasio Pajak 23% Seperti Target Prabowo (DetikFinance, Rabu, 12 Jun 2024). Mengapa keberatan menyusun Roadmap? Namanya juga roadmap. Menurut definisi roadmap adalah peta jalan, rencana atau strategi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Roadmap akan melewati tahapan yang panjang untuk menjadi regulasi sehingga legally binding.
Dalam pernyataannya Sri Mulyani langsung menyebut kata rasio pajak. Padahal mungkin maksudya roadmap yang diminta adalah rasio pepajakan dalam arti luas. Bukan hanya pajak dalam arti sempit seperti PPN, PPH, cukai, Dll, tapi rasio penerimaaan negara secara keseluruhan terhadap GDP yang di dalamnya terdapat penerimaan bagi hasil sumber daya alam minyak, gas, batubara, timah, nickel emas, perak tembaga, dll, serta bagi hasil perkebunan seperti sawit, karet, dan hasil hutan lainnya.
Bukan hanya itu roadmap juga bisa berisikan pendapatan negara dari hasil penyitaan uang hasil korupsi, penggelapan pajak, kekayaan hasil kejahatan keuangan yang disembunyikan di dalam dan diluar negeri, termsuk pencucian uang di kementerian keuangan sendiri. Semuanya mestinya dibuat roadmapnya, pemetaannya, peta jalannya, sehingga masalah keuangan negara di masa mendatang ada titik terang dan harapan.
Kalau Sri Mulyani mengatakan bahwa Prabowo ingin menaikkan rasio pajak hingga 23% GDP maka itu memberi kesan bahwa Prabowo ingin memajaki rakyat, memajaki warung makan, restoran, usaha usaha produktif masyarakat, belanja sehari emak emak. Tentu masyarakat akan menolak rencana atau usaha semacam itu.
Namun kalau Sri Mulyani mengatakan bahwa roadmap penerimaan perpajakan 23% GDP, maka itu memang menelanjangi prestasi kementerian keuangan sendiri yang gagal dalam membenahi rasio penerimaan negara terhadap GDP yang terus merosot dari tahun ke tahun. Pertanyaan utama dalam tata kelola keuangan Pemerintah adalah mengapa aktifitas ekonomi yang membesar yang membawa Indonesia sebagai 20 negara dengan GDP terbesar di dunia, namun penerimaan negaranya merosot.?
Mari kita lihat datanya. Tahun 1981 tax revenue Indonesia terhadap GDP mencapai 21,9 persen. Bayangkan kalau terjadi sekarang. Tetapi tahun 2021vtax revenue hanya tersisa 9,1 %. Sekarang dan dulu rezim APBNnya berbeda. Bayangkan kalau angka tahun 1981 itu tax revenue 21% GDP terjadi sekarang dengan GDP indonesia 1,32 triliun dollar atau 21.120 triliun rupiah maka penerimaan perpajakan negara 21% GDP mencapai 4.435 triliun rupiah. Ini luar biasa, tidak perlu utang, makan gratis seluruh rakyat Indonesia tiap hari juga bisa.
Mari kita luruskan ya? bahwa penerimaan negara (goverment revenue) terhadap GDP memang harus meningkat, walau pun tidak perlu meningkatkan pajak yang kecil kecil. Mari fokuskan pada penerimaan negara dari sumber daya alam, minyak, gas, batubara, nickel, timah, sawit, sumber mineral lainnya, komoditas perkebunan dll. Kita Indonesia adalah negara eksportir komoditas terbesar di dunia. Kementerian Keuangan dapat mencapai Goverment revenue 23% GDP diluar penerimaan utang luar negeri (PLN). Ingat Indonesia akan segera menjadi negara maju.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *