Jakarta, Hotfokus.com
Pemerintah perlu mengkoreksi naiknya harga jual solar subsidi, dan atau melakukan pengalihan subsidi kepada pengguna yang tepat sasaran sebagaimana yang juga dilakukan terhadap elpiji bersubsidi.
Hal ini disampaikan Pengamat Energi yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi), Sofyano Zakaria dalam pesan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu (08/1/2022).
“Ini perlu dilakukan, karena selama ini Pemerintah belum pernah terdengar akan mengkoreksi naiknya harga jual solar subsidi. Pertamina juga perlu melakukan pengalihan subsidi kepada pengguna yang tepat sasaran sebagaimana yang dilakukan terhadap elpiji bersubsidi,” kata Sofyano.
Ia juga mempertanyakan, kenapa hingga saat ini pemerintah belum juga mengoreksi harga jual solar subsidi. Padahal, subsidi terhadap solar juga menjadi beban bagi Pemerintah, sebagaimana yang selama ini “ditudingkan” kepada elpiji 3kg.
“Atau apakah Pemerintah menilai pengguna solar subsidi selama ini sudah tepat sasaran sehingga subsidi solar menjadi tidak masalah buat pemerintah dan APBN,” cetusnya.
Menurut dia, solusi yang perlu dilakukan Pemerintah adalah dengan mengoreksi harga jual solar subsidi, sehingga paling tidak rentang perbedaannya dengan solar non subsidi tidak sebesar yang terjadi selama ini
“Selain itu juga mungkin dengan menetapkan penggunaan kepada jenis kendaraan tertentu yakni hanya untuk kendaraan bermotor pelat nopol kuning dan maksimal roda enam saja. Ini seharusnya bisa dilalukan jika pemerintah merasa bahwa subsidi adalah beban APBN yang harus dikurangi,” paparnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa sebenarnya pemerintah sudah waktunya mengurangi beban subsidi pada subsidi solar. “Seharusnya sudah saatnya pemerintah setidaknya berusaha mengurangi beban subsidi pada BBM jenis solar,” ujar Sofyano.
Ia juga menambahkan, bahwa solar adalah bahan bakar yang disubsidi sangat besar, karena solar subsidi hanya dijual dengan harga Rp 5.150 per liter sementara harga solar non subsidi mencapai sekitar Rp 11.000 per liter. Hal ini menyebabkan disparitas harga yang terjadi sangat besar atau sekitar Rp 5.850 per liter.
“Padahal penggunaan terbesar solar subsidi adalah untuk “bisnis” dan penggunaannya juga nyaris tak terukur. Hal ini beda dengan penggunaan elpiji (subsidi), per rumah tangga maksimal hanya menggunakan 3 tabung per bulan,” tutup Sofyano.
Sebelumnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menugaskan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT AKR Corporindo Tbk untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar sepanjang 2022.
Penetapan kuota yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 102/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 dan Nomor 103/P3JBT/BPHMIGAS/KOM/2021 tanggal 27 Desember 2021 dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.
Kepala BPH Migas, Erika Retnowatimengatakan, penetapan kuota ini telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara. Dan penetapannya didasarkan kepada tiga variabel dasar perhitungan, antara lain usulan kebutuhan solar tahun ini dari pemerintah daerah.
“Termasuk data realisasi penyaluran solar Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo pada tahun lalu, dan rumusan formula yang sesuai dengan kesepakatan rapat bersama pemangku kepentingan,” ujarnya.
Selain kuota solar 15,1 juta kiloliter, lanjut Erika, pemerintah juga akan menyalurkan minyak tanah sebanyak 480.000 kiloliter pada tahun ini.
“Jika terjadi peningkatan kebutuhan atau gangguan distribusi di suatu daerah, maka Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo dapat melakukan penyesuaian kuota antar-penyalur di daerah yang sama sepanjang tidak mempengaruhi jumlah total kuota daerah tersebut,” katanya.(RAL)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *