ads_hari_koperasi_indonesia_74

PLN Bisa Bernasib Seperti Garuda, Pengamat : Pemerintah Perlu Beri Perhatian

PLN Bisa Bernasib Seperti Garuda, Pengamat : Pemerintah Perlu Beri Perhatian

Jakarta, Situsenergi.com

Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih serius kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Sebab saat ini beban perusahaan BUMN ini sangat besar sementara keberadaannya sangat sentral karena sebagai motor penggerak ekonomi nasional. Dengan beban hutang mencapai Rp649 triliun (tahun 2020), sementara laba yang dibukukan hanya Rp5,99 triliun, maka beban perusahaan setrum negara ini sungguh sangat berat.

Mencermati hal itu Pengamat Energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan dengan rasio hutang dan laba yang diperoleh rata-rata pertahun di level Rp10 triliun, maka PLN baru bisa melunasi hutangnya sekitar 64 tahun. Itupun dengan catatan seluruh laba yang diperoleh setiap tahunnya murni digunakan untuk membayar hutang.

Dia berharap pemerintah memperlakukan BUMN ini secara proporsional dan lebih profesional. Dia berharap pemerintah bisa memisahkan mana administrasi negara dan mana administrasi usaha (BUMN). Jika tidak nasib PLN bisa menjadi seperti BUMN Penerbangan, Garuda Indonesia yang kini terlilit utang begitu besar sehingga menganggu kinerja perusahaan.

“Jika tidak terdapat perubahan kebijakan, maka kekhawatiran Menteri BUMN bahwa nasib keuangan PLN akan menyerupai keuangan Garuda Indonesia sangat berpeluang terjadi,” kata Komaidi dalam catatannya, Minggu (11/7/2021).

Dijelaskannya bahwa salah satu penyebab PLN tidak mampu menghasilkan laba lebih besar setiap tahunnya karena kemampuan memaksimalkan aset relatif rendah. Padahal jika ingin masuk dalam kategori perusahaan yang sehat, dengan aset mencapai Rp1.589 triliun maka PLN harus bisa membukukan laba minimal Rp95 triliun (per tahun). Selama periode 2010-2020 ROA PLN cenderung menurun. Selama periode tersebut, rata-rata ROA PLN sebesar 0,40 persen jauh di bawah ROA Singapore Power yang tercatat sekitar 6 persen.

“Standar industri menetapkan batasan ROA (return on total asset) yang dapat dikategorikan sehat atau baik adalah 5,98 persen. Sementara berdasarkan data yang ada, ROA PLN selama periode 2010-2020 berada jauh di bawah batasan tersebut,” sambungnya.
Pemicu Beban PLN

Komaidi menambahkan bahwa selama ini salah satu pemicu beban PLN kian berat adalah kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Salah satunya terkait dengan kebijakan tarif dasar listrik (TDL) dan juga subsidi listrik. Dua kebijakan pokok ini menjadikan kinerja keuangan perseroan tidak optimal. Akibatnya laba yang dihasilkan juga cenderung mengalami penurunan.

Hal itu diperparah dengan fluktuasi harga batubara yang begitu tinggi. Diketahui bahwa di tahun 2020, pembangkit listrik berbasis batubara yang dioperasikan oleh PLN mencapai 66 persen. Diperkirakan pada tahun 2024 mendatang porsi pembangkit batubara akan naik menjadi 70,10 persen.

Tingginya porsi batubara tentu akan berdampak pada biaya yang dikeluarkan PLN terutama ketika harga batubara acuan (HBA) mengalami peningkatan. Per Juli 2021 harga kontrak Ice NewCastle Coal sebesar USD143 per ton. Sementara HBA Indonesia pada periode itu USD115,35 per ton.

“Jika mengacu pada HBA dan nilai tukar rupiah saat ini, pada tahun 2021 PLN memerlukan biaya tambahan untuk pengadaan batubara sekitar Rp78,95 triliun jika harga DMO (domestic market obligation) batubara untuk listrik ditiadakan,” pungkas Komaidi. (DIN/RIF)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *