Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Memasuki Triwulan II Tahun 2021, perhatian masyarakat atau publik Indonesia sebagian besar tertuju pada permasalahan kinerja keuangan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kerugian dan memiliki jumlah beban utang cukup besar. BUMN-BUMN yang selama ini dikenal besar dari aspek nama, skala usaha, jumlah karyawan bahkan kekayaan (asset) dan selama ini terlihat berkinerja baik-baik saja ternyata memiliki utang yang nilainya fantastis. Apalagi, ditambah oleh kebijakan Pemerintah di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum usai, yang justru tidak sejalan dengan upaya untuk menyehatkan kinerja sebagian BUMN, kontraproduktif, bahkan seolah sedang menggali lubang untuk kuburan BUMN yang selama ini menjadi penopang keuangan negara untuk menggerakkan roda perekonomian bangsa. Apalagi BUMN-BUMN tersebut merupakan cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, baik yang masih 100 persen sahamnya milik negara atau sebagai pemegang saham mayoritasnya (sebagian telah dipecah sahamnya melalui IPO ke pasar bursa).
Apabila permasalahan kinerja dan terutama utang BUMN ini tidak segera ditangani dengan serius atau malah dibiarkan terus keuangannya bergantung pada utang, maka akan berdampak pada penerimaan negara serta yang terburuk adalah akan menyasar kepada pekerja atau karyawan BUMN melalui kebijakan yang tak disukai semua pihak, yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan tentu akan menambah jumlah pengangguran di tanah air. Namun demikian, publik atau masyarakat sebagai bagian dari pemegang saham BUMN (sebagai warga negara Indonesia) juga harus memahami kinerja keuangan BUMN ini dalam perspektif organisasi usaha atau bisnis yang membutuhkan permodalan untuk melakukan investasi atau pembangunan dan pengembangan infrastruktur serta jaringan usaha secara lebih luas, yangmana dapat bersumber dari Penyertaan Modal Negara (PMN) dan atau Utang. Dalam posisi ini, maka sejak adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN serta UU sektoral yang menyertainya, maka kebijakan terhadap PMN tidak lagi menjadi mudah, maka sebagian sumber permodalan BUMN dalam upaya mengatasi ekspansi usaha atau bisnisnya, khususnya terkait penugasan dari Pemerintah diselesaikan melalui pinjaman kepada pihak lain atau pihak ketiga, yaitu lembaga perbankan dan atau penerbitan surat utang perusahaan.
Kinerja Investasi
Bank Indonesia (BI) pada bulan Maret 2021 telah melaporkan jumlah Utang Luar Negeri BUMN telah mencapai US$59,65 Miliar atau setara Rp 851,160 Triliun (Kurs Rp 14.400 per dolar AS). Nilai itu setara dengan 28 persen dari total Utang Luar Negeri yang berada ditangan swasta atau sejumlah Rp3.042 Triliun dengan efektifitas dan efisiensi pengelolaan yang belum diketahui. Pengendalian utang swasta hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah agas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membebani rakyat Indonesia tak berulang kembali.
Permasalahan utang yang membebani keuangan BUMN telah dihadapi oleh maskapai nasional Garuda Indonesia sejak lama, lalu bertambah berat mengalami kesulitan keuangan akibat imbas berbagai kebijakan pemerintah c.q. Kementerian Perhubungan dan dampak pandemi Covid-19. Utang perseroan terus mengalami peningkatan, yang pada menumpuk mencapai Rp70 triliun, dan diperkirakan akan terus bertambah Rp1 triliun tiap bulannya. Mengacu pada pernyataan salah seorang komisaris Garuda Indonesia, bahwa sejak menjabat pada bulan Januari 2020 utang BUMN ini telah mencapai Rp20 Triliun, yang berarti selama 1 tahun lebih telah terjadi peningkatan sejumlah Rp50 Trilun. Atas kondisi itu, pertanyaan untuk komisaris Garuda Indonesia yaitu: saat utang masih Rp20 Triliun langkah apa yang telah dilakukan oleh Dewan Komisaris menahan laju utang tersebut sehingga tidak menjadi Rp70 Triliun pada bulan Mei 2021?
Selain itu, Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmodjo menyatakan, bahwa kinerja buruk Garuda Indonesia bersumber dari utang biaya sewa (leasing) pesawat yang berada di luar batas kewajaran, jenis pesawat yang terlalu banyak, dan rute penerbangan yang tidak menguntungkan (domain kebijakan Kemenhub).
BUMN-BUMN Karya, khususnya di bidang konstruksi juga tercatat memiliki masalah utang melampaui batas kewajaran akibat kebijakan ekspansi dan investasi pada sektor infrastruktur. Secara perseroan total utang beberapa BUMN konstruksi yang telah dipublikasikan Kementerian BUMN mencapai Rp211,56 Triliun lebih, masing-masing diantaranya Adhi Karya mencapai Rp34,9 Triliun, Waskita Karya senilai Rp91,76 Triliun, PT. Pembangunan Perumahan (PP) sejumlah Rp39,7 Triliun, dan Wijaya Karya sejumlah Rp45,2 Triliun. Meskipun jumlah utang Adhi Karya relatif kecil, namun rasio utang terhadap permodalannya atau debt to equity (DER), justru lebih tinggi dibanding BUMN karya lainnya, yaitu 5,76 kali atas modal yang dimiliki.
Selain Garuda Indonesia dan BUMN Karya, PT PLN (Persero) juga disebutkan terlilit utang hingga mencapai Rp500 Triliun pada akhir 2019. Perusahaan Negara tersebut terbebani utang dalam jumlah yang besar yang digunakan untuk membiayai proyek kelistrikan 35 ribu Megawatt (MW). Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyatakan, bahwa kenaikan utang sebesar Rp500 Triliun tersebut terjadi dalam 5 tahun terakhir. Mengacu pada laporan keuangan PLN per 30 September 2014, total utang bank dan obligasi jangka panjang PLN tercatat mencapai Rp70,7 Triliun atau naik 6,42 persen dari periode yang sama Tahun 2013, yaitu sejumlah Rp66,4 Triliun. Sementara utang bank dan obligasi jangka pendek yang harus dilunasi saat itu tercatat sebesar Rp14,67 Triliun dibandingkan periode 2013 hanya sejumlah Rp8,38 Triliun. Artinya, Tahun 2014 utang PLN tidak sampai Rp100 Triliun, sementara pada rentang waktu 5 tahun terakhir, investasi PLN, khususnya terkait tindaklanjut amanat Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 dalam rangka Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan telah bertambah Rp400 Triliun.
Melalui jumlah utang itu sebagai sumber pendanaan, PLN telah mampu mencapai total pembangunan kapasitas pembangkit terpasang yang meningkat dari semula hanya 55,5 Gigawatt (GW) pada tahun 2015 menjadi 66,3 GW pada Tahun 2020 atau ada tambahan sebesar 9,8 GW. Pembangunan infrastruktur ini telah membuat pasokan daya listrik di seluruh Indonesia menjadi lebih merata dan memadai diberbagai pelosok tanah air dalam mendukung kegiatan perekonomian daerah dan nasional. Rasio elektrifikasi PLN yang menjadi indikator keadilan energi juga mengalami perubahan cukup signifikan, yaitu pada Tahun 2015 mencapai 88,3%, sementara pada Tahun 2020 (dalam kurun 5 tahun) telah menjadi 99,2% atau terdapat kenaikan sebesar 10,9%. Artinya, dengan tambahan dana investasi sebesar Rp400 Triliun selama 5 tahun telah meningkatkan kemampuan PLN dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap daya listrik sebesar 9,8 GW dan rasio elektrifikasinya meningkat sebesar 10,9%. Kenaikan jumlah utang sebesar 500% lebih sejak Tahun 2015 dengan investasi dalam jumlah yang besar masih menyisakan 0,8 persen kekurangan atas ketenagalistrikan.
Sementara itu, pertumbuhan pendapatan PLN mengacu pada laporan keuangan yang diterbitkan pada bulan Maret 2020 masih menunjukkan kinerja positif ditengah masa pandemi Covid19. Menurut Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini, kinerja positif di masa pandemi Covid19 tersebut diperoleh dengan melakukan efisiensi di sisi teknis dan operasional serta inovasi-inovasi melalui program transformasi PLN yang dijalankan semenjak April 2020 lalu. Sejalan dengan itu, PLN juga menghasilkan peningkatan pendapatan dan laba bersih, dengan membukukan pendapatan usaha sebesar Rp345,4 Triliun, di tengah sebagian besar bisnis menghadapi pandemi Covid-19 yang menyebabkan perekonomian nasional menurun. Secara rinci, pendapatan penjualan tenaga listrik mencapai Rp274,9 Triliun, termasuk didalamnya subsidi stimulus Covid19 sebesar Rp13,8 Triliun untuk membantu 33 juta pelanggan.
Selain itu terdapat pendapatan subsidi sebesar Rp48 Triliun yang menjangkau 37 juta pelanggan dan kompensasi Rp17,9 Triliun untuk 42 juta pelanggan. Masih terdapat 37 juta pelanggan yang memperoleh alokasi subsidi yang mengakibatkan PLN kehilangan potensi pendapatan sejumlah Rp7,7 Triliun, dan apakah subsidi ini sudah tepat sasaran sementara data kemiskinan berdasar publikasi BPS hanya sejumlah 26,42 juta penduduk?
Jika kehilangan pendapatan subsidi dikompensasikan, maka PLN akan mengantongi laba bersih sebesar Rp13,6 Triliun (laba bersih Rp5,9 Triliun di 2020+Rp7,7 Triliun) Capaian laba bersih itu mengalami peningkatan sebesar 38,6 persen dibandingkan laba bersih Tahun 2019 yang sebesar Rp4,3 Triliun.
Tanggungjawab Pemegang Saham
Kasus Pertamina dan PLN yang masih merupakan BUMN dengan penguasaan saham 100 persen milik Negara dalam pengelolaan utang untuk investasi jangka panjang dan pendek sangat berbeda dengan Garuda Indonesia yang sebagian sahamnya (39,46% saham publik, swasta dan perorangan). Saham milik publik terbesar dipegang oleh pengusaha nasional dan pendiri CT Corp, Chairul Tanjung setelah terjadi pembelian saham senilai Rp 317,23 Miliar melalui PT Trans Airways.
Dalam keterbukaan informasi yang disampaikan GIAA kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Trans Airways mengambilalih kepemilikan saham Garuda yang dimiliki oleh Finegold Resources sebanyak 635.739.990 lembar saham dengan harga pelaksanaan Rp 499 per saham. Transaksi pembelian terjadi pada 6 Mei 2021. Dengan pembelian saham tersebut, porsi kepemilikan saham Garuda yang dimiliki oleh Trans Airways meningkat menjadi 7.316.798.262 saham atau setara 28,26% dari sebelumnya hanya sejumlah 6.681.058.272 lembar saham atau setara 25,81%. Setelah transaksi ini, komposisi pemegang saham Garuda Indonesia yang merupakan milik Negara menjadi sebesar 60,54%, Trans Airways (CT Corporation) tercatat sebesar 28,26%, dan pemegang saham publik 11,2% (swasta dan perorangan).
Berbeda dengan BUMN yang sahamnya telah dipecah (stock split) melalui penawaran saham kepada publik (Initial Public Offering/IPO), maka kendali pengelolaan Pertamina dan PLN masih penuh berada ditangan pemerintah. Apabilan ada beban utang dan kinerja operasi dan keuangan yang buruk sumber permasalahannya hanya berasal dari 2 (dua) pihak saja, yaitu Pemerintah yang memberikan penugasan (PSO) dan kemampuan manajerial serta profesional jajaran Direksi dan Komisaris. Pada BUMN-BUMN yang sebagian sahamnya sudah dimiliki oleh publik, baik swasta maupun perorangan seperti Garuda Indonesia, BUMN Perbankan, BUMN Pertambangan dan BUMN Karya pengaruh pemegang saham publik jelas ada dalam menentukan perjalanan dan kinerja BUMN tersebut. Oleh karena itu, terkait dengan permasalahan beban utang investasi yang mempengaruhi kinerja operasi dan keuangan BUMN harus juga menjadi bagian tanggungjawab pemegang saham non Negara yang dimaksud.
Tidaklah elok jikalau motif pemegang saham non Negara dalam membeli saham BUMN hanya sekedar mencari keuntungan semata atau profit gain dari sejumlah saham yang diperjualbelikan di BEI, sementara masyarakat konsumen terbebani oleh berbagai kebijakan korporasi di satu sisi. Di sisi yang lain, pemerintah juga harus melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan IPO yang telah diambil, berdasar atas tidak adanya perubahan kinerja BUMN yang IPO dan masih 100 persen milik Negara. Kalau kinerja operasi dan keuangan BUMN yang tidak IPO (100 persen saham Negara) lebih baik atau positif dibandingkan dengan yang telah IPO, untuk apa maksud dan tujuan IPO dahulu?
Oleh karena itu, pada kasus Garuda Indonesia, BUMN Karya dan BUMN lainnya yang sahamnya telah menjadi milik publik (swasta maupun perorangan), maka masyarakat sebagai representasi kepemilikan saham Negara berhak menuntut tanggungjawab mereka untuk tidak hanya menyelamatkan Garuda Indonesia maupun BUMN lainnya, tetapi menjaga keberlanjutan eksistensi BUMN yang menjadi sokoguru perekonomian bangsa dan negara. Berdasarkan kasus ini pula, sebaiknya pemerintah menghentikan rencana dan upaya IPO pada BUMN strategis lainnya agar kasus serupa tidak berulang yang kemudian hanya merugikan kepentingan tujuan kemakmuran bersama sesuai mandat ayat 3 Pasal 33 UUD 1945, hanya memberikan peluang kesejahteraan orang per orang dan konsumen yang dirugikan.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *