ads_hari_koperasi_indonesia_74

Demi Neraca Perdagangan, Indonesia Wajib Tolak Sebutan Sebagai Negara Maju

Demi Neraca Perdagangan, Indonesia Wajib Tolak Sebutan Sebagai Negara Maju

Jakarta, hotfokus.com

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berharap pemerintah bersiap sedia untuk menanggapi pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang menyatakan Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara berkembang. Sebab jika klaim sepihak dari pemerintah AS melalui United State Trade Representative (USTR) dibiarkan dan bahkan disetujui oleh World Trade Organization (WTO), Indonesia akan menanggung beban yang cukup besar.

Ekonom Senior Indef, Aviliani, mengatakan pemerintah harus menolak pernyataan pemerintah AS tersebut ketika sidang WTO nanti digelar. Pemerintah harus mengikuti langkah China yang juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang oleh AS menurut prinsip hukum Countervailing Duty (CVD) pada 10 Februari 2020 lalu. Sebab meskipun China saat ini size ekonominya terbesar kedua, namun mereka tetap menolak dianggap sebagai negara maju karena beberapa keringanan dalam perdagangan internasional kemudian akan hilang.

“Menurut saya pemerintah jangan bangga dulu, sebab kalau dari indikator kita belum bisa masuk ke sana (negara maju). Ini harus jadi early warning, kalau kita diem aja dan disetujui WTO, current account kita akan kena sebab berbagai keringanan akan hilang,” kata Aviliani dalam diskusi publik bersama awak media di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (27/2).

Merujuk pada konsep World Bank terkait negara maju, gross national income (GNI) harus berada di atas USD12.000 perkapita. Sementara saat ini GNI Indonesia saat ini hanya sekitar USD3.500 per kapita. Artinya dari satu indikator saja, Indonesia belum layak disebut sebagai negara maju.

Indikator lainnya dari sisi pekerjaan, negara maju mayoritas rakyatnya bekerja pada sektor jasa yang mencapai 70 persen. Kemudian sisanya di sektor industri dan pertanian di bawah 5 persen. Sementara di Indonesia fakta yang terjadi adalah sebaliknya dimana sektor jasa justru berada pada porsi terendah. Terbesar justru di sektor pertanian yang mencapai 40 – 50 persen dan 30 persennya di sektor industri.

Aviliani menambahkan, klaim sepihak USTR ini membuat pangsa pasar ekspor Indonesia ke AS akan tergantikan dari negara lain. Hal ini karena kemudahan berupa keringanan tarif ekspor akan dihilangkan sehingga ekspor akan tertekan. Padahal selama ini AS menjadi negara utama tujuan ekspor produk – produk unggulan seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, karet dan lainnya.

“Kalau kita diam aja atau tidak protes terhadap ini maka 12,84 persen (pasar ekspor AS Januari 2020) akan kejadian dimana Amerika akan cari supplier baru. Kita akan kehilangan pangsa pasar ekspor tadi sehingga surplus perdagangan ke AS akan turun,” ulas dia.

Aviliani menambahkan dasar dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang oleh USTR karena share perdagangan Indonesia terhadap dunia di atas 0,5 persen. Selain itu Indonesia menjadi anggota dari G20 sehingga CVD yang sebelumnya mendapat keringanan 2 persen dan standar impor diabaikan maka nantinya akan dihapuskan.

“Kalau 10 tahun lagi wajar jika Indonesia dianggap negara maju, tapi kalau saat ini saya kira belum. Makanya pemerintah harus bersiap dengan berbagai policy untuk menghadapi 10 tahun kemudian,” pungkas Aviliani. (DIN)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *