Jakarta, Hotfokus.com
Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies, Budi Santoso menilai, ada pihak-pihak tertentu yang berupaya melakukan intervensi untuk mempercepat pelaksanaan revisi UU Minerba karena adanya kepentingan lain.
“Saya melihat ada yang berupaya agar kontrak para pemegang kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) terus berlanjut melalui revisi tersebut. Padahal di UU Minerba yang ada saat ini sudah jelas mengamanatkan agar wilayah yang habis kontrak dikembalikan kepada negara terlebih dulu bukan langsung diperpanjang,” kata Budi dalam sebuah diskusi yang digelar di Jakarta, Jumat (27/12).
Menurutnya, revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) itu rentan dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk tujuan tertentu. Oleh sebab itu pemerintah tidak perlu buru-buru dalam melakukan revisi UU ini, karena masih banyak penataan pengelolaan minerba yang harus dilakukan terlebih dulu sebelum benar-benar UU Minerba direvisi. “Kebijakan mineral dan batu bara nasional harus diterapkan dulu sebelum RUU Minerba dilakukan,” kata Budi.
Lebih jauh ia mengatakan, salah satu yang terus didengungkan oleh pihak-pihak tertentu seperti hilirisasi melalui pengembangan Dimethyl ether (DME). Modus ini dinilai sebagai bentuk propaganda untuk memuluskan jalan agar kontrak wilayah tambang yang habis kontrak diteruskan ke perusahaan tambang yang saat ini memegang PKP2B.
“DME omong kosong jebakan PKP2B, DME Rp3,8 miliar hanya untuk 8 ton. Dan itu pembangunan tidak mungkin 5 tahun. Jadi narasinya PKP2B mohon dilanjutkan kontrak untuk kepastian investasi untuk bikin DME, nanti kalau sudah diberikan kontrak dibilang tidak ekonomis,” ketusnya.
Selain itu narasi lainnya yang dikembangkan adalah adanya potensi pengurangan penerimaan negara apabila wilayah tambang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal itu justru berbanding terbalik ketika pemerintah ingin melakukan divestasi PT Freeport Indonesia dengan mendorong BUMN yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang membeli saham Freeport Indonesia.
Budi menambahkan program peningkatan nilai tambah minerba hendaknya diawali dengan rencana induk nasional. Dia menerangkan rencana tersebut didasarkan pada proyeksi kebutuhan atau ketersediaan sumber daya.
“Ini menyangkut masa depan bangsa dan keberlanjutan untuk anak cucu. Pengurasan tambang yang cepat hanya diperlakukan sebagai komoditas dagang biasa sangat menyalahi cita-cita pendiri bangsa,” tuturnya.
Ia juga menegaskan, bahwa yang namanya perusahaan tambang, tidak ada kewajiban lain untuk menciptakan produk di luar bahan tambang selain memproduksi produk tambang.
“Di mana pun di dunia ini yang namanya perusahaan tambang hanya memproduksi produk tambang,, sehingga perusahaan tersebut bisa lebih fokus pada aktivitas penambangan dan terhindar dari beban-beban lain yang tidak perlu,” kata Budi.
INamun, kata dia, karena pemerintah Indonesia malas mikir, maka dibuatlah regulasi yang mewajibkan perusahaan tambang untuk memghasilkan produk di luar bahan tambang. “Di Indonesia kita masih sibuk urus smelter, PKP2B, IUP, IUPK – seakan tak berujung. Tak hanya itu, tambang-tambang kecil dibebani kewajiban yang sama dengan tambang besar seperti Freeport, ini sangat-sangat tidak masuk akal,” kata Budi Santoso.(ral)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *