ads_hari_koperasi_indonesia_74

Atas Nama Konstitusi, Kenaikan Harga Gas Oleh PGN Tak Bisa Ditunda

Atas Nama Konstitusi, Kenaikan Harga Gas Oleh PGN Tak Bisa Ditunda

Jakarta, hotfokus.com

Rencana kenaikan harga gas industri yang telah ditetapkan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang seharusnya dimulai pada tanggal 1 Oktober 2019 kemarin bisa kembali diwacanakan dikemudian hari. Pasalnya kenaikan harga suatu produk, baik itu barang dan jasa adalah soal biasa dalam terminologi korporasi dan pasar berkaitan dengan hukum permintaan dan penawaran. Oleh sebab itu meski banyak tarik ulur, rencana kenaikan harga gas industri oleh PGN tidak bisa dibatalkan begitu saja.

Defiyan Cori selaku Ekonom Konstitusi, mengatakan jika hal itu dibatalkan lantaran ada komplain kalangan pengusaha ke Presiden Jokowi, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam setiap pengambilan kebijakan kenaikan harga barang atau jasa oleh korporasi BUMN atau swasta. Oleh sebab itu Defiyan mendorong agar PGN tetap dalam rencananya sebab memang sudah sepatutnya harga dinaikkan.

“Tentu saja, konsekuensi menaikkan harga barang dan jasa yang dilakukan akan dikompensasi dengan misalnya menurunnya permintaan atas barang dan jasa yang ditawarkan oleh para pengusaha. Namun, bagi para pengusaha yang menerapkan manajemen profesional, efisien dan efektif, ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma yang bisa ditempuh,” kata Defiyan Cori dalam keterangannya, Kamis (10/10).

Menurutnya, dengan tingkat harga hulu gas yang berasal dari perusahaan swasta (nasional dan asing) sebagai penyuplai ke PGN telah mahal, tidak memungkinkan bagi PGN untuk menyediakan harga lebih rendah dari biaya produksi dan distribusinya. Sehingga sangat wajar bagi PGN apabila ingin meningkatkan harga jual gasnya ke pelaku usaha.

“PGN adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilindungi oleh konstitusi pasal 33 UUD 1945, dan oleh karena itu Pemerintah harus menjaga keberlanjutan pengelolaannya dengan prinsip-prinsip manajemen efisien dan efektif serta aman dalam melakukan aksi korporasi,” ucap dia.

Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) harus memperhatikan dengan seksama kondisi industri hulu migas Indonesia. Pemerintah harus memastikan agar jangan sampai mengorbankan kinerja korporasi dalam menghadapi tantangan persaingan pasar minyak dan gas bumi di masa depan. Perlu kiranya bagi Kementerian ESDM untuk mengatur harga hulu gas industri agar dapat sesuai dengan Harga Pokok Produksi (HPP) yang diterima oleh PGN, sehingga PGN punya dasar dalam menetapkan harga gas industri.

Penataan hulu migas Indonesia (termasuk pembangunan infrastrukturnya) menjadi hal mendesak untuk diperhatikan, terutama terkait harga hulu gas yang dibebankan pada PGN pada Tahun 2018 sudah sangat mahal. Harga yang diberikan pada PGN  adalah USD6-8 MMBtu. Dibandingkan dengan harga gas di negara lain dalam kawasan ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia yang lebih murah, yaitu hanya masing-masing sebesar USD5,4-6,3 MMBtu dan USD4,5-6 MMBtu.

Atas dasar itulah, lanjut Defiyan, maka opsi menunda kenaikan harga gas industri ini atas nama konstitusi ekonomi dan permasalahan hulu industri migas serta keberlanjutan PGN dalam mengemban misi negara untuk kemandirian ekonomi, mengatasi defisit migas dan APBN tidak bisa diterima akal sehat.

“Yang paling mungkin dilakukan oleh PGN adalah mengarahkan subsidi pada kelompok yang tepat sasaran, atau beberapa industri yang memang harus memperoleh insentif dari pemerintah dalam rangka membuka lapangan kerja untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan serta memajukan perekonomian bangsa,” pungkas Defiyan. (DIN/rif)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *