BANDUNG — Dinamika politik mulai terasa sejak penyusunan regulasi Pilkada dimulai. Dinamika mencapai puncaknya ketika tahapan kontestasi politik tiba.
Ketika memberi ceramah di hadapan para perwira TNI di Sekolah Staf Komando TNI (Sesko TNI) di Bandung, Jawa Barat, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo banyak mengulas soal dinamika dan tantangan demokrasi di tanah air.
Mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu, dinamika politik terjadi karena setiap partai berkepentingan terhadap kontestasi politik.
Dinamika merupakan bagian tak terpisah dari pelaksanaan demokrasi, karena terdapat tarik-menarik kepentingan.
Dalam kesempatan itu Tjahjo Kumolo juga menjelaskan, Pilkada serentak pertama di Indonesia terjadi pada 2015. Keberhasilan penyelenggaraan Pilkada serentak itu kontan diakui dunia internasional.
“Kemudian pada tahun 2016, penentuan regulasi Pileg dan Pilpres, serta tahapan Pilkada 2017, lantas Pilkada serentak kedua pada tahun 2017, kemudian Pilkada serentak tahun 2018 dan nanti Pileg dan Pilpres pada tahun 2019, serta pemilihan serentak nasional pada tahun 2024 meliputi Pilpres, Pileg dan Pilkada secara serentak,” katanya.
Tjahjo mengatakan bersyukur karena dinamika politik yang berlangsung di Indonesia sejauh ini nyaris tanpa guncangan berarti hingga dapat menggangu konsolidasi demokrasi. Diakuinya memang terdapat riak-riak kecil, namun secara substansial pesta demokrasi dengan segala dinamikanya telah berjalan dengan baik.
“Walau begitu bukan berarti demokrasi di Indonesia tak ada tantangan,” katanya.
Tjahjo mencatat ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia. Tantangan pertama, potensi manipulasi demokrasi. Menurutnya, potensi manipulasi dalam demokrasi sangat mungkin terjadi. Aktornya bisa pemilik modal, pemilik media, dan penguasa.
“Tantangan kedua, potensi kerawanan yang bisa muncul mengganggu konsolidasi demokrasi antara lain tindak pidana pemilihan, kejahatan lain yang terkait, dan konflik sosial,” katanya.
Tantangan ketiga, lanjut Tjahjo, mahalnya biaya politik untuk mendapatkan dukungan parpol. Serta praktek politik uang demi mendapatkan suara masyarakat. Ini katanya, yang membuat biaya elektoral butuh modal yang mahal.
“Ini pula yang nantinya melahirkan lingkaran korupsi oleh kepala daerah,” ujarnya.
Karena itu, menurut Tjahjo, diperlukan strategi penanggulangan efektif yang meliputi pencegahan dan penegakan hukum. Keduanya harus saling mendukung, saling terkait dan dilaksanakan secara konsisten serta transparan.
Menurut Tjahjo diperlukan pembenahan yang terus menerus. Sehingga sistem yang dibangun benar-benar kuat dan aplikable dengan situasi dan kondisi politik di dalam negeri. Salah satunya adalah penyempurnaan struktur politik dengan fokus kelembagaan demokrasi. Kemudian penataan peran negara dan masyarakat dengan tujuan kemandirian masyarakat. Lalu, penataan proses politik sebagai bentuk representasi kekuasaan.
“Kesukesesan Pemilu bisa terwujud jika ada penguatan lembaga demokrasi, peningkatan kebebasan sipil dan hak-hak politik, netralitas birokrasi dalam Pemilu 2019, pengamanan Pemilu yang baik,” paparnya.
Di samping itu semua tak boleh dilupakan pertahanan wilayah Nasional, kepastian hukum dan reformasi brokrasi serta efektivitas diplomasi. “Bila itu diwujudkan, Indonesia bakal jadi referensi demokrasi dunia. Mungkin juga kampiun demokrasi,” tegas Tjahjo. (kn)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *