ads_hari_koperasi_indonesia_74

Melawan Hoax Bisa dengan Budaya Malu

Melawan Hoax Bisa dengan Budaya Malu

JAKARTA — Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf, mengatakan bahwa konten hoax dapat dilawan dan ditekan dengan menghidupkan kembali budaya malu. Karena itu dia berharap agar budaya malu sebagai identitas bangsa Indonesia, perlu dipupuk kembali, karena menurutnya saat ini budaya itu kian pudar.

Budaya malu juga akan melahirkan karakter dan etika politik yang lebih santun, terutama di tahun politik 2018. Sebab budaya malu melahirkan konsep moral serta etika yang baik, termasuk dalam bidang politik.

“Mari kembali ke budaya kita. Budaya malu dan budaya gotong royong ini adalah budaya bangsa Indonesia. Gotong royong itu terjadi karena kepedulian, bukan karena individu,” ungkap politisi Demokrat itu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/1).

Lebih lanjut ia menjelaskan, budaya malu dan gotong royong jika dihidupkan kembali maka seluruh lapisan masyarakat dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Menurutnya, dengan sikap tersebut keberagaman merupakan keniscayaan, sebagaimana yang tersirat di dalam nilai-nilai Pancasila.

“Sebuah negara yang melupakan masa lalunya, tidak akan punya masa sekarang. Apalagi masa depan. Kita tidak boleh lupakan sejarah, Republik Indonesia merdeka bukan karena diberikan, tapi karena sebuah perjuangan bersama. Karenanya, UUD 45 dan Pancasila merupakan hasil perjuangan bersama. Itu harus dihargai sehingga tidak ada perbedaan maupun perselisihan,” tambah politisi asal dapil Jatim V ini.

Nurhayati juga mengingatkan, bahwa keberagaman bukan hanya sekedar kulit dan ras tetapi lebih dari itu, yakni kepercayaan, bahkan tokoh politik idaman. Sehingga ia berharap dalam memasuki tahun politik ini, segala bentuk keberagaman dapat diakomodir. Dengan begitu konten hoaks pun akan berkurang.

“Malu menyebarkan konten hoaks, malu melakukan korupsi dan tindakan tidak senonoh lainnya. Sekarang komunikasi banyak melalui media sosial. Nah, sebelum konten kita bagikan, harus dipikirkan lagi pantas atau tidak. Bagaimana kalau kita yang menerima dan membaca itu. Ini yang harus dijaga, apalagi bangsa ini adalah bangsa yang majemuk, plural dan sudah sepakat dalam kebhinekaan,” tandas politisi yang juga Presiden International Humanitarian Law ini. (kn)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *