Jakarta,hotfokus.com
Pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria mengatakan, pola subsidi terhadap barang dan atau subsidi terhadap siapapun dalam jumlah triliunan rupiah, akan menjadi beban bagi pemerintahan siapapun juga.
“Sebagaimana diketahui, untuk subsidi BBM Solar tahun 2017, Pemerintah terpaksa merogoh kantong APBN hingga Rp 7 triliun, sementara BUMN Pertamina menanggung pula beban untuk ikut “mensubsidi” sekitar Rp 21 trilun. Tentu saja ini angka yang sangat besar,” kata Sofyano saat dihubungi hotfokus.com di Jakarta, Jumat (13/10).
Ia mengungkapkan, di tahun 2017, Pemerintah dengan persetujuan DPRRI memberi kuota solar subsidi sebanyak 14,82 miliar liter.
Dengan posisi harga solar subsidi sebesar Rp 5.150 per liter, maka Pemerintah harus mensubsidi sebesar Rp 500 per liter.
Sementara harga keekonomian solar di negeri ini pada periode Januari hingga Oktober 2017, atau rata- rata berada pada kisaran Rp 6.600 per liter.
“Dengan demikian terdapat selisih harga keekonomian dengan harga jual sekitar Rp 1.400 per liter yang untuk sementara jadi beban Pertamina,” ungkapnya.
Menurut Direktur Pusat Studi kebijakan Publik (Puskepi) ini, seharusnya Pemerintah sudah berpikir untuk mengalihkan atau mengurangi subsidi tersebut ke hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Misalnya, lanjut dia, untuk pembangunan infrastruktur yang merupakan program yang sangat besar manfaatnya bagi negeri ini yang perlu diwujudkan dan notabene memerlukan anggaran “Seharusnya Pemerintah perlu mengurangi besaran subsidi solar untuk dialihkan ke infrastruktur,” ujar Sofyano.
Lebih jauh ia mengatakan, subsidi solar bisa dikurangi secara bertahap yakni dengan cara merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. “Artinya Presiden perlu dan bisa menetapkan jenis kendaraan yang masih perlu disubsidi Pemerintah,” ucapnya.
Menurut Sofyano, solar subsidi harusnya direvisi dan ditetapkan hanya untuk kendaraan maksimal beroda enam dan khusus untuk kendaraan yang menggunakan plat kuning saja. “Dan seharusnya itu bisa dilaksanakan dengan sistem kartu kendali,” ujar dia.
Kartu kendali, lanjut Sofyano, bisa menetapkan volume BBM solar yang bisa dibeli. “Ini sangat mudah diwujudkan karena data tentang jumlah dan jenis kendaraan tersedia secara akurat di pihak kepolisian dan juga di pihak kementerian perhubungan,” lanjut dia.
Selain menetapkan pengguna yang berhak atas solar subsidi, Sofyano juga menyarankan agar Pemerintah menetapkan pula besaran subsidi tetap terhadap produk solar subsidi.
“Pemerintah sebaiknya menetapkan besaran maksimal subsidi solar yakni Rp 1.000 per liter. Jadi pada akhirnya Pemerintah tidak lagi menetapkan harga jual secara tetap namun mengikuti besaran harga keekonomian yang selalu berubah pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 pada setiap bulan” papar Sofyano.
Terkait adanya kekhawatiran terhadap terkoreksinya besaran inflasi jika besaran subsidi solar dikoreksi, menurut Sofyano, dari pengalaman yang ada ketika pemerintah mengkoreksi harga BBM, ternyata inflasi hanya terkoreksi pada waktu yang tidak lama dan akhirnya kembali normal seperti sebelumnya.
“Sejak pemerintahan Jokowi JK, masyarakat sudah terbiasa dengan harga BBM keekonomian. Konsumen BBM sudah terbiasa membeli BBM dengan harga keekonomian,” tukasnya.
“Sementara pengusaha angkutan yang dominan sebagai konsumen pengguna solar subsidi bisa mengerti tentang makna subsidi dan ini sudah terjadi pada pengusaha angkutan perkebunan dan pertambangan yang sudah dilarang gunakan solar subsidi. Ini bisa berjalan kok,” tutup Sofyano. (eaz/red)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *