Oleh
Marwan Batubara, IRESS
Jakarta – hotfokus.com | Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) telah membuat keputusan membekukan vendor penyalur alih daya (outsourcing) PT Pertamina Patra Niaga dan PT Elnusa setelah menerima wakil demonstran sopir tangki Pertamina (AMT) yang berdemontrasi pada Kamis, 6 Juli 2017, di depan kantor Kemnaker.
Dengan keputusan tersebut, memang para demonstran membubarkan diri. Namun keputusan Kemnaker tersebut dapat pula menimbukan masalah serius terhadap penyaluran BBM di sejumlah wilayah.
Kemnaker membuat keputusan pembekuan vendor selama pemeriksaan yang dilakukan Kemenaker dan Suku Dinas Ketenagakerjaan (Sudinaker) Jakarta Utara masih berlangsung. Setelah pemeriksaan selesai Kemnaker menyatakan akan mengeluarkan rekomendasi terkait tuntutan AMT yang telah diajukan sebelmnya kepada perusahaan, dan juga termasuk disampaikan kepada Kemnaker.
Kita khawatir, jangan-jangan Kemnaker belum berfikir panjang tentang dampak yang timbul akibat keputusan tersebut.
Apakah Kemnaker sadar bahwa pembekuan vendor akan mengakibatkan tersendat atau terhentinya penyaluran BBM ke SPBU-SPBU?
Lebih lanjut dari itu, jika terjadi kelangkaan BBM di sejumlah wilayah, bukankah kondisi ini akan dapat memicu protes dari masyarakat?
Disadari bahwa salah satu tugas utama Kemnaker adalah menampung aspirasi para pekerja, terutama jika terjadi hal-hal yang merugikan atau perlakuan tidak adil dari pemberi kerja. Namun, di sisi lain, Kemnaker perlu pula mempertimbangkan kepentingan pihak-pihak lain yang terkait, termasuk mesyarakat konsumen BBM yang dapat saja dirugikan akibat dari keputusan yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang komprehensif.
Selain itu, Kemnaker pun perlu mendengar dan membahas permasalahan yang terjadi dengan pihak yang berselisih, terutama manajemen PT Pertamina Patra Niaga dan PT Elnusa Tbk. Apalagi jika merujuk pernyataan wakil AMT bahwa hubungan kerja AMT akan berubah, langsung kepada perusahaan, bukan lagi penyalur (perusahaan outsourcing).
Bagaimana bisa keputusan untuk mengangkat dan mempekerjakan AMT ditetapkan Kemnaker tanpa melibatkan perusahaan secara detail (Patra Niga dan Elnusa)?
Perlu diketahui bahwa tuntutan yang diajukan oleh AMT kepada perusahaan antara lain adalah hak upah lembur apabila bekerja lebih delapan jam dalam satu hari, hak tunjangan kesehatan, penghapusan sistem kerja kontrak (outsourcing) dan tunjangan pensiun serta pesangon bagi pekerja yang di-PHK. Jika dipenuhi, tentu saja tuntutan ini akan berdampak pada kinerja keuangan dan operasi, atau bahkan kelangsungan hidup perusahaan.
Kita belum mencermati apakah permasalahan yang strategis dan menentukan ini sudah pernah dibahas secara komprehensif oleh pihak-pihak terkait, terutama antara vendor, perusahaan dan pekerja/AMT dengan melibatkan Kemnaker. Sebagai penengah perselisihan, mestinya Kemnaker pun tidak memihak atau memaksakan kehendak, apalagi jika ada oknum-oknum yang mengintervensi. Jika ini terjadi, tentunya perusahaan akan dirugikan.
Di sisi lain, pemerintah pun harus mampu menetapkan aturan yang komprehensif, berkeadilan dan dijalankan dengan konsisten. Jika skema outsourcing memang masih berlangsung di berbagai perusahaan, dan aturan pelarangannya pun belum ada atau tidak jelas, maka wajar jika skema ini menjadi pilihan bagi banyak perusahaan, termasuk oleh Parta Niaga dan Elnusa.
Memang merupakan hal yang wajar jika kesempatan kerja dan perlakuan adil berlaku bagi kita sesama anak bangsa. Apalagi selama ini kita sangat tidak mendukung berlakunya sistem ekonomi pasar dan neoliberal di Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu mencari solusi yang berkeadilan bagi permasalahan AMT ini tanpa ada pihak-pihak yang dirugikan.
Kita berharap manajemen perusahaan dapat bersikap fleksibel, namun di sisi lain pemerintah pun harus mempertimbangan survival bisnis perusahaan, peraturan yang berlaku dan bebas dari pengaruh oknum-oknum yang hanya memikirkan keuntungan sempit.
Faktanya Pertamina Patra Niaga telah menyatakan siap untuk menyelesaikan masalah melalui jalur normatif yaitu sesuai UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI).
Bab II UU PHI menetapkan perselisihan bisa diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Kemudian, pada pasal 57 dijelaskan hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan peraturan di atas dan sikap Patra Niaga yang siap untuk menyelesaikan masalah sesaui aturan, maka wajar jika kesempatan memperoleh solusi win-win bagi kedua pihak akan sangat terbuka luas. Yang tertinggal adalah sikap pemerintah, yang dalam hal ini diperankan terutama oleh Kemnaker, apakah bisa bersikap adil dan mengayomi kepentingan seluruh pihak atau sebaliknya. Jangan sampai Kemnaker melakukan blunder seperti keputusan membekukan vendor yang disebutkan di atas, yang justru berpotensi menimbulkan protes publik yang meluas.
Semoga semua pihak terkait bisa! [redsz]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *