Oleh :
Sofyano Zakaria
Pengamat Kebijakan Energi
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik
Puskepi.
Jakarta/HotFokus – Publik memahami bahwa Pertamina sebagai BUMN berarti adalah kepanjangan tangan pemerintah dalam menyediakan dan menyalurkan bbm serta bahan bakar elpiji bagi rakyat Indonesia.
UU yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan penyaluran elpiji, pada nyatanya itu dibebankan sepenuhnya oleh Pemerintah ke Pertamina.
Dan sangat terlihat oleh publik bahwa Pertamina harus menjadi “anak baik dan penurut” terhadap Pemerintah walau pada dasarnya sesuai UU tentang Perusahaan Terbatas dan UU ttg BUMN, Pertamina disamping wajib mengejar keuntungan juga tidak boleh diintervensi oleh siapapun.
Disisi lain, Pertamina memang mengemban misi pemerintah misalnya dalam mendistribusikan bbm pso atau elpiji pso tetapi sesuai UU pula bahwa bukan berarti dengan tugas itu Pertamina dibolehkan untuk rugi.
Itu pengertian yang harus dipahami terkait peran PSO BUMN .
Kenapa demikian?
Contoh nyatanya Garuda, walau Garuda adalah sebuah BUMN, perusahaan penerbangan itu ternyata menjual tiket penerbangan lebih mahal dari maskapai penerbangan swasta lainnya dan ternyata tidak pernah dipermasalahkan dan tidak pula menjadi masalah bagi Pemerintah.
Terkait peran Pertamina dalam mengadakan dan menjual BBM dinegeri ini, demi untuk menghasilkan “uang” bagi Pemerintah, Pertamina diberi tugas untuk memungut PBB-KB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor) dan juga demi untuk menghemat devisa Pertamina diwajibkan pula mencampur bbmnya dengan fame 20% khususnya untuk solar non PLN dan sebesar 30% untuk campuran khusus terhadap bbbm PLN.
Pencampuran bbm itu dengan fame yang dihasilkan dari sawit yang ada di negeri ini jika kita kaji lebih dalam hanya akan memberi keuntungan dominant bagi pengusaha sawit yang nota benenya adalah usaha konglomerasi di negeri ini bukannya dominan sawit yang dihasil oleh petani rakyat kecil negeri ini.
Akibat kewajiban tersebut dampak langsungnya terhadap Pertamina adalah Harga jual Solar untuk industri menjadi lebih mahal sehingga sulit bagi Pertamina untuk bersaing dgn BU-PIUNU (Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum) swasta yang jumlahnya ada 84 perusahaan yang mendapat izin dari Pemerintah untuk boleh mengimport, mengeksport dan menjual bbm didalam negeri.
Publik pantas pula untuk sangat mempertanyakan apakah BU-PIUNU swasta ini memunggut secara konsisten PBB-KB pada setiap penjualan bbm nya kepada seluruh konsumennya dan siapa yang mengawasi kebenaran pungutan PBB-KB tersebut yang menurut UU wajib diserahkan dan menjadi hak Pemerintah daerah.
Pertanyaannya pula , apakah pihak Pemda aktif melakukan pengawasan terhadap pungutan hingga penyetoran pbb-kb kepada Pemda?
Tidak tertutup kemungkinan, kalau pun BU-PIUNU swasta itu mem bayar PBB-KB tetapi bisa saja tidak sepenuhnya sesuai dengan volume transaksinya . Ini seharusnya dilakukan pengawasan yang ketat tapi apa yang akan diharapkan itu sulit terwujud karena PBB-KB merupakan domainnya pihak Pemerintah daerah yang kemampuannya dalam pengawasan masih sangat dipertanyakan.
Namun harusnya ini diteliti dan diaudit lebih dalam oleh lembaga audit BePeKa tetapi sepertinya pihak BePeKa tidak terlalu tertarik atas perolehan pbb-kb ini.
Selain itu solar yang dijual oleh bu-piunu swasta “belum tentu” dicampur FAME sebagaimana yang diwajibkan Pemerintah terhadap Pertamina dan anak Perusahaannya.
Seharusnya Pemerintah melakukan uji lab atas bbm yang diwajibkan dicampur dengan fame dengan mengambil contoh dari bbm yang beredar di pasaran. Dan sayangnya pihak instansi yang terkait terkesan juga tidak terlalu berhasrat untuk melakukan ini. Entah mengapa?
Besaran PBB-KB yang dipungut untuk penjualan bbn adalah sekitar 5 sampai dengan 7.5%.
Artinya kewenangan penentuan besaran pbb-kb diatur dan ditetapkan oleh Pemda masing masing. Namun besarannya mengacu kepada UU yang berlaku terkait pbb-kb tersebut.
Sementara dengan adanya kewajiban mencampur bbm solar dengan fame yang dihasilkan dari sawit (bio fuel) maka beda harga bbm yang dicampur 20% fame dengan yang tidak dicampur adalah sekitar Rp.600-700/liter.
Tentu saja selisih harga antara bbm yang bermuatan fame dengan yang tidak, pasti sangat berpengaruh kepada pembeli yang akan lebih memilih membeli bbm tanpa fame karena harganya pasti lebih murah selain kualitas bbm tanpa fame sangat diyakin konsumen jauh lebih baik ketimbang bbm ber-fame.
Kewajiban mencampur fame pada bbm solar, tentu saja menjadikan konsumsi solar pertamina berkurang yang diperkirakan sekitar 5,5 juta KL per tahun.
Akibatnya, Pertamina tidak perlu impor solar karena produksi solar Pertamina dari kilang Pertamina malah berlebih, sekitar 280.000 barel/bulan.
Kelebihan solar tersebut pada dasarnya tidaklah membuat BUMN Pertamina menjadi untung, namun justru menimbulkan “persoalan” bagi Pertamina karena sulit dipasarkan.
Penyebabnya adalah karena harga jual solar pertamina pasti lebih mahal ketimbang solar import yang diimport BU-PIUNU swasta lainnya karena harga jual solar Pertamina harus dibebankan dengan PBB-KB dan harus di campur fame yang sangat ketat diwajibkan kepada BUMN energi itu.
Pemerintah sepertinya tidak mau menyadari bahwa sesungguhnya persoalan yang dihadapi BUMN Pertamina adalah persoalan bagi Pemerintah pula.
Jika persoalan yang dihadapi Pertamina justru diakibatkan karena keputusan atau kebijakan yang dibuat Pemerintah, harusnya itu bisa diatasi oleh Pemerintah.
Pertamina Rugi berarti Pemerintah yang rugi begitu sebaliknya.
Pemerintah seakan menutup mata terhadap keberadaan BU-PIUNU swasta yang bebas melakukan import Solar.
Import solar yang dilakukan pihak BU-PIUNU swasta tersebut yang sangat dipertanyakan apakah ketika dijual ke konsumen telah dibebankan PBB-KB dan juga diwajibkan mencampur dengan Fame yang dihasilkan dari sawit milik pengusaha dalam negeri sebagaimana yang diwajibkan kepada Pertamina?
Badan Usaha swasta itu (BU-PIUNU) juga tidak diwajibkan untuk ikut serta memperkuat ketahanan stock bbm nasional sebagaimana yang dilakukan terhadap Pertamina.
Seharusnya demi untuk memperkuat ketahanan enerji nasional, pihak kementerian esdm mewajibkan bu-piunu yang mengimport bbm harus menjamin ketersediaan pasokan bbm kepada konsumennya untuk jangka waktu tertentu. Ini tanpa disadari merupakan bagian dari memperkuat ketahanan energi nasional.
Kontrol terhadap import dan operasional BU-PIUNU nyaris tidak pernah disampaikan oleh pihak Kementerian ESDM dan juga pihak BPH Migas secara transparan kepada publik.
Publik nyaris tidak pernah mendengar berapa jumlah bbm yang di-import pertahunnya oleh bu-piunu yang ada.
Berapa besar bea masuk atau pajak import yang diterima Pemerintah dari BU-PIUNU itu atau bagaimana dengan BU-PIUNU swasta yang tidak pernah melakukan import tetapi bisa berjualan bbm. Dari mana asal usul bbm nya, itu juga luput dari perhatian KESDM, BPH Migas, Direktorat Pajak bahkan pihak Bea cukai sekalipun. Itu semua nyaris belum pernah disampaikan kepublik oleh instansi yang terkait dengan itu.
Disisi lain, bebasnya import solar tersebut tentu berdampak terhadap stock solar Pertamina yang untuk saat ini diperkirakan mencapai 31 hari.
Ini pada dasarnya merugikan bagi Pemerintah mengingat Pertamina adalah badan usaha milik negara.
Publik sering mendapati bahwa SPBU swasta yang menjual Solar bisa buka tutup spbu se-maunya. SPBU milik non bumn nyaris boleh menentukan sendiri untuk tidak beroperasi atau berjualan bbm sesuka hati mereka tanpa memperdulikan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Swasta yang berbisnis BBM melalui spbu bisa pula menghentikan operasi spbu apabila harga jual yang ditetapkan pemerintah dibawah harga pasar.
Tetapi hal tersebut diatas tidak mungkin dilakukan Pertamina karena Pertamina sebagai badan usaha yang berbisnis, juga dibebankan untuk menjalankan misi Pemerintah.
Publik dinegeri ini menyadari pula pada kenyataannya Insan Pekerja Pertamina serta mitranya bukan semata menjalankan bisnis berjualan bbm semata tetapi mereka juga tanpa disadari ternyatakan mengabdi bagi kepentingan rakyat.
Ketika semua pengusaha dan pekerja menghentikan aktifitasnya di saat lebaran dan hari hari raya keagamaan, pertamina dan mitra spbu serta penyalur elpiji tetap harus menjalan usaha dan fungsinya agar kebutuhan bahan bakar bagi rakyat tetap terpenuhi. Itu mereka lakukan karena “diharuskan” namun mereka menuruti dengan kesadaran penuh. Pengabdian mereka adalah pengabdian yang tak mengenal waktu dan jarak.
Publik sudah sepantasnya mengetahui bahwa pada kenyataannya Pertamina juga harus menanggung “subsidi” untuk distribusi bbm di daerah-daerah “remote” seperti di wilayah Perbatasan dengan negara lain dan juga seperti di wilayah Papua atau di kalimantan Utara, NTT, pulau pulau kecil dan terluar, yang mana hal ini pasti tidak mungkin akan dilakukan badan usaha pemegang izin niaga umum swasta ketika harus menjual BBM dengan harga yang harus sesuai dengan ketentuan Pemerintah.
Pertanyaan yang akan terlempar dari publik: “Mengapa Pemerintah melakukan perbedaan perlakuan antar sesama bumn khususnya misalnya terhadap BUMN Garuda dengan Pertamina ?”
Mengapa pula “Pemerintah” memperlakukan perbedaan sikap terhadap Pertamina sbg bumn milik bangsa dan milik Pemerintah dengan Badan Usaha swasta (BU-PIUNU) yang sejenis dengan Pertamina.
Ketika kita bersuara mempertanyakan itu semua, mungkin saja ada yang bersuara bahwa kita “membela Pertamina. Tetapi apa salahnya jika kita membela Pertamina yang pada dasarnya Perusahaan itu adalah milik bangsa, milik rakyat Indonesia yang keuntungannya dan pajak yang dihasilkan nya sepenuhnya dikembalikan kepada Pemerintah yang berarti kembali ke Rakyat. Dan hal itu tidak berlaku bagi badan usaha swasta.
(red)
sumber gambar : www.kontraktorspbu.com
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *