ads_hari_koperasi_indonesia_74

SUBSIDI ELPIJI Bukan Sesuatu Yang Sakral dan Keharusan

SUBSIDI ELPIJI  Bukan Sesuatu Yang Sakral dan Keharusan

SUBSIDI ELPIJI  Bukan Sesuatu Yang Sakral dan Keharusan. ‎
Sebagaimana Subsidi Listrik
Subsidi Elpiji Perlu Ditata Ulang .‎

Oleh
Sofyano Zakaria
Pengamat Kebijakan Energi
Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik
Puskepi

Jakarta,29 Maret 2016.

Penggunaan elpiji bersubsidi di negeri ini , sudah Semakin “liar”.
Pengguna elpiji 3kg yang sejatinya menurut peraturan yang diluncurkan disaat program konversi minyak tanah ke elpiji 3kg adalah untuk kelompok rumah tangga bekas pengguna minyak tanah dan usaha kecil, ternyata sudah lama diketahui oleh setiap orang yang ada dinegeri ini,   bisa bebas dibeli oleh siapapun dan dipergunakan untuk apapun juga.‎

‎Penggunaan elpiji yang tidak tepat sasaran, tidak hanya bermasalah bagi besaran subsidi yang harus ditanggung pemerintah , tetapi juga melukai rasa keadilan khususnya bagi masyarakat tidak mampu yang sejatinya adalah golongan tertentu yang dimaksud dalam Undang Undang.

Pengguna dan penggunaan elpiji 3kg nyaris tiada berbeda dengan pengguna dan penggunaan bbm bersubsidi bertentangan dengan rasa keadilan kelompok golongan tidak mampu yang seharusnya adalah pihak yang paling berhak atas subsidi pemerintah.‎Namun hal ini nyaris tidak menarik perhatian.

Disisi lain,pihak pihak yang biasanya rajin bersuara ketika melihat sesuatu yang “aneh” terjadi dinegeri ini.  tetapi nyaris diam ketika terkait dengan soal subsidi. Subsidi bbm ataupun subsidi elpiji.‎

Subsidi sepertinya dianggap sebagai sesuatu yang wajib dan harus. Karenanya jika ada fikiran yang sejalan dengan logika dan kenyataan namun mempermasalahkan pemberian serta besaran subsidi ‎maka fikiran itu akan dianggap sebagai fikiran yang salah dan tidak populis.

Subsidi dan komoditas BBM serta Elpiji, telah disakralkan dan menjadi hal yang teramat disakralkan. Nyaris membuat orang tidak berani menyentuh dan mempermasalahkannya. Dan hal ini menjadi alat dan senjata politik bagi pihak tertentu untuk meraih popularitas semu.

‎Harga Eceran elpiji subsidi  di NKRI ini ada dikisaran Rp. 4.250/kilogram, ini jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia yakni Rp 6.938 per kilogram dan di Thailand Rp 7.000 per kilogram‎ bahkan juga dengan negara India yang masyarakatnya sudah beralih ke elpiji, dinegeri itu harga Elpiji subsidi dipatok oleh pemerintahnya sebesar Rp 5.500 per kilogram.‎

Sementara untuk jenis non subsidi, berdasarkan harga keekonomian, Pertamina mematok harga dikisaran Rp 7.700 – Rp 14.200 per kilogram. Ini lebih murah bila di bandingkan dengan negara  Filipina yang sudah mematok  harga Rp 24.000 per kilogram, Jepang Rp 20.000 per kilogram, Tiongkok Rp 17.000 – Rp 21.000 per kilogram, dan bahkan Skotlandia‎
Rp 17.000 per kilogram. ‎

‎Harga elpiji 3kg atau elpiji bersubsidi ditetapkan oleh Pemerintah pusat adalah ‎Rp 4.250 per kilogram. ‎Itu adalah harga yang dijual resmi oleh Pemerintah melalui bumn Pertamina.

Pada Harga tersebut sudah termasuk margin agen dan margin pangkalan elpiji termasuk pula pajak. ‎
Harga Pokok Elpiji 3kg ada dikisaran Rp. 3.860/kg sementara jika dibanding dengan Harga Pokok elpiji 12kg atau elpiji non subsidi yang ada pada kisaran Rp.9.000,-/kg, itu berarti Pemerintah mensubsidi elpiji 3 kg dikisaran Rp.5.000an/kg.

‎Artinya, subsidi lebih besar dari harga yang harus ditanggung pembeli.
Dan ini sejatinya dinilai sebagai sesuatu yang “janggal”. Subsidi yang bisa dinilai sebagai bantuan, ternyata jumlahnya lebih besar dari yang harus di‎bayarkan oleh si penerima bantuan. Sungguh sesuatu yang janggal dan tidak logika.

Harga jual elpiji 3kg yang dijual Pemerintah kepada masyarakat yang sudah hampir 15 tahun tidak dikoreksi, juga bisa dimaknai bahwa elpiji telah dianggap pula sebagai komoditas yang sakral. ‎
Pemerintah terkesan “takut” dan menganggap pengkoreksian naik  harga jual elpiji sebagai “momok yang menyeramkan” bagi pemerintah. ‎

Padahal kenyataan dilapangan, tidak satupun rakyat pengguna elpiji dinegeri ini yang terbukti bisa membeli elpiji 3kg dengan harga Eceran Tertinggi baik yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan atau pun Pemerintah Daerah.
Dan hal ini mirisnya tidak disadari Pemerintah dan pihak Politisi negeri ini,  bahwa  ternyata harga perolehan masyarakat atas lepiji 3kg yang diatas harga yang ditetapkan Pemerintah  tidak menjadi masalah bagi rakyat negeri ini.‎

Artinya, masyarakat negeri ini nyaris tidak mempermasalahkan perbedaan harga nyata dengan harga yang ditetapkan Pemerintah sepanjang elpiji 3kg selalu tersedia pada saat dibutuhkan masyarakat.‎

‎Mengurangi jumlah subsidi untuk elpiji 3kg‎ harusnya tidak perlu ditakuti dan disakralkan. Kenaikan harga komoditas pasti berdampak terhadap inflasi. Namun inflasi itu bisa diperkirakan besarnya dan bisa pula diatasi untuk tidak terkoreksi naik dengan signifikan. Pemerintah harusnya punya kemampuan mengatasi hal ini.

Untuk mengantisipasi terdongkraknya inflasi jika besaran subsidi elpiji 3kg dikoreksi, Pemerintah bisa saja mengantisipasi dengan melakukan penataan ulang penerima dan pengguna elpiji 3kg.

Hal ini harusnya bisa dilakukan sejalan dengan kebijakan BUMN PLN yang melakukan pendataan ulang pengguna listrik dengan daya 450VA dan 900VA. Walau harga minyak dunia telah turun secara signifikan yang harusnya berpengaruh besar terhadap biaya produksi dan distribusi listrik, namun PLN terbukti selalu mengkoreksi naik TDL nya dan kali ini PLN membuat kebijakan menyaring ulang pelanggan pengguna listrik daya 450VA dan 900VA agar subsidi yang ada pada daya tersebut tepat sasaran kepada masyarakat pengguna yang berhak atas subsidi.
Hal ini harusnya dilakukan pula terhadap pengguna elpiji 3kg.

‎Pemerintah juga bisa mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa harga eceran tertinggi yang ditetapkan Pemerintah, berlaku pula sebagai harga eceran nyata atau harga beli sesungguhnya bagi masyarakat.
Tidak seperti yang terjadi selama ini.

Dengan demikian ketika harga jual elpiji dikoreksi naik, misalnya sebesar Rp.1.000,- perkilogram,  maka masyarakat tetap membayar dengan jumlah yang sama sebagaimana terjadi selama ini, ketika penyalur elpiji 3kg ditetapkan dan diharuskan menjual dengan Harga Eceran Tertinggi yang sekaligus merupakan Harga Eceran Nyata. ‎

Tentu saja pengkoreksian harga jual elpiji juga  harus memberi dampak langsung bagi para penyalur elpiji 3kg artinya koreksi kenaikan harga jual juga dengan mengkoreksi naik margin agen dan pangkalan serta ongkos angkut elpiji yang sudah belasan tahun tidak pernah dinaikan oleh Pemerintah.

‎Namun sejalan dengan itu, maka pemerintah juga harus menata ulang keberadaan para penyalur elpiji. Penyalur elpiji pada tingkat pangkalan dan pengecer harus ditetapkan sebagai mata rantai distribusi elpiji yang keberadaan dan pembinaannya sepenuhnya ada ditangan Pemerintah dalam hal ini bisa saja ditangani oleh Pemerintah daerah.

Hal lain untuk mengurangi terkurasnya keuangan pemerintah karena subsidi elpiji maka Pemerintah perlu mendukung penuh kreatifitas bisnis yang dilakukan pertamina yang telah meluncurkan produk elpiji tabung 5,5kg atau disebut pinky gas.

Harga jual pinky gas yang bisa ditetapkan diatas harga jual elpiji 3kg tetapi dibawah harga jual elpiji 12kg, merupakan program yang cerdas yang jika mendapat dukungan pemerintah dan segala pihak sangat bisa mengurangi beban subsidi elpiji.

Terobosan itu sudah terbukti berhasil dilakukan Pertamina dengan meluncurkan produk bbm Pertalite yang nyatanya mampu menekan penggunaan premium. (opini/red).

Sumber photo :  www.klikkabar.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *