Oleh : Mamit Setiawan
Sebagai objek yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, polemik mengenai Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi hal yang sangat sensitif untuk dibahas. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kenaikan atau penurunan serta kebijakan yang mempengaruhi harga BBM akan menjadi bahan jualan yang menarik sebagai tolak ukur keberhasilan atau kegagalan pemerintah.
Tanggal 13 Mei 2015, salah satu gebrakan terbesar dalam rangka pemberantasan mafia migas dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian ESDM dan Kementrian BUMN. Gebrakan tersebut adalah melalui pembubaran salah satu anak perusahaan Pertamina yakni PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) yang dinilai sebagai tempat bersarangnya mafia migas yang menyebabkan harga BBM di dalam negeri menjadi tinggi.
Tugas Petral adalah melakukan tender pembelian Minyak Mentah dan BBM dari luar negeri sesuai dengan kuota Import yang dibutuhkan oleh Pertamina. Setelah itu, pemenang tender melalui Petral inilah yang akan mensuplai kebutuhan Minyak mentah dan BBM untuk Pertamina. Dengan mata rantai yang panjang ini, proses pengadaan Minyak Mentah dan BBM untuk kebutuhan dalam negeri menjadi lebih panjang, serta membuka peluang untuk banyaknya mafia migas bermain. Pasalnya adalah, Petral didirikan di luar negeri dan dengan Badan Hukum Negara Singapura.
Oleh karena itu, kontrol terhadap Petral sendiri akan lebih sulit. Di lain pihak, Petral sebagai suatu Perusahaan berbadan Hukum, walaupun merupakan anak perusahaan Pertamina sendiri, pasti mencari keuntungan perusahaan, belum lagi untuk belanja asset dan cost operasionalnya. Tentu harga yang didapatkan dari proses tendering ini sudah memasukkan unsur laba dan belanja perusahaan sendiri. Fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh Petral ini akhirnya diambil alih secara langsung oleh pertamina melalui Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina sendiri.
Dengan dikelola secara langsung oleh Pertamina, pemerintah mengklaim bahwa penghematan bisa dilakukan sebesar 22 Juta US Dollar sehari (sekitar 250 Milliar Rupiah). Hal ini dikarenakan unsur-unsur yang telah disebutkan di atas telah dipangkas, serta lelang yang dilakukan secara langsung oleh Pertamina dapat menentukan harga terbaik dan bukan malah Vendor titipan. Di lain pihak, dengan proses tendering yang langsung dilakukan oleh ISC Pertamina, diklaim bahwa segala macam proses akan lebih transparan karena langsung melalui web pertamina, dan penentuan vendor pun bisa lebih ketat. Pasalnya untuk menjadi rekanan Pertamina, syarat yang ditentukan cukup banyak dan mengikat, jadi vendor yang diambil pun memiliki kualitas yang baik. Akan tetapi apakah benar semua hal tersebut berjalan dengan baik?
Tahun 2015 Pertamina mendapatkan laba bersih sekitar 1,42 Miliar US Dollar dari seluruh bidang Usahanya baik hulu maupun hilir. Di tahun 2016, setahun setelah Petral dibubarkan, laba bersih pertamina ini meningkat tajam sekitar 122% menjadi 3.14 Milliar US Dollar, dan pada tahun 2017 kembali turun menjadi sekitar 2,55 Milliar US Dollar.
Walaupun banyak factor yang mempengaruhi laba Pertamina ini, kontribusi pemutusan mata rantai pembelian Minyak Mentah serta BBM tentu menjadi salah satu factor yang menentukan juga. Apalagi jika dihitung secara kasar, dengan penghematan mencapai 22 Juta US Dollar sehari, dalam setahun penghematan yang terjadi bisa mencapai 8 Milliar US Dollar.
Di lain pihak, tren harga minyak yang menurun dari tahun 2014 sampai 2017, dan baru mengalami kenaikan di tahun 2018 menjadi factor penting di balik kenaikan laba Pertamina. Tentu laba yang diharapkan dapat dicetak jauh di atas laba yang telah dipaparkan sebelumnya. Akan tetapi, di tahun 2018, pada smester I, laba Pertamina yang disampaikan ke public hanya sekitar 5 Triliun Rupiah. Suatu angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan semester yang sama di tahun 2017 yang mencapai 26,8 Triliun Rupiah. Hal ini perlu dianalisa lebih jauh, apakah kebijakan Pemerintah di bidang Migas sudah sesuai atau belum.
Menurut kementrian BUMN, factor utama penurunan laba Pertamina ini adalah naik turunnya harga minyak dunia. Sejak 2015 sampai 2017, harga minyak dunia stabil di bawah 50 US Dollar per barel, dan di tahun 2018, mengalami kenaikan yang cukup tajam. Bahkan di tahun 2018, harga minyak pernah menyentuh 75 US Dollar, yang mana merupakan harga tertinggi sejak 2014. Dengan harga yang tinggi ini, beban Import Minyak semakin tinggi karena kita tahu bahwa konsumsi BBM Indonesia jauh di atas angka produksinya sendiri. Kenaikan harga jual BBM juga tidak jadi dilakukan oleh pemerintah yang menyebabkan semakin jomplangnya neraca penerimaan dan pengeluaran Pertamina. Pendapatan dari bidang hulu sesuai dengan kenaikan harga BBM belum dapat menutupi pengeluaran yang harus dilakukan di sisi hilir nya.
Di lain pihak, nilai rupiah yang sempat melemah terhadap dollar juga dituding sebagai biang keladi berkurangnya pendapatan Pertamina ini. Juga ada kebijakan pemerintah terkait distribusi BBM satu harga se Indonesia yang menyebabkan cost operasional Pertamina menjadi bengkak. Lalu kemanakah janji pembubaran Petral yang digaung-gaungkan Pemerintah sebelumnya? Seharusnya dengan komando langsung di bawah Pertamina, proses negosiasi dengan vendor dapat lebih efektif dan hemat. Akan tetapi kenyataannya, pembubaran Petral belum bisa memberikan perubahan signifikan terhadap keuangan Pertamina.
Janji Pertamina untuk melakukan semua proses tendering pengadaan Migas ini secara Transparan sepertinya tidak dipertanggungjawabkan dengan baik. Isu yang sempat hangat sebelumnya adalah tender Pengadaan Minyak di situs resmi Pertamina hanya dibuka kurang dari 48 jam, dan tidak memberikan banyak waktu kepada sekitar 150 Vendor yang terdaftar untuk melakukan penawaran. Dari tender pengadaan minyak asal Afrika Barat ini, yang memenangkan tender adalah dari Trafigura yang merupakan trader Minyak Internasional. Sangat disayangkan bahwa pembelian ini tidak langsung kepada produsennya yakni Nigeria Agip Oil Company (NAOC).
Dengan pembelian dari trader ini, sudah dapat dipastikan bahwa komisi trader sudah dimasukkan juga yang menyebabkan harga minyak menjadi lebih mahal. Sejak saat itulah, proses tendering dan siapa vendor yang mensuplai kebutuhan minyak dalam negeri menjadi kurang transparan. Bahkan muncul pemikiran bahwa ISC Pertamina menjadi mafia baru atau Petral baru yang lebih mudah dikendalikan oleh Pertamina sendiri. Apalagi setalah pembubaran Petral di tahun 2015, tidak ada audit secara lengkap terhadap Petral, dan juga KPK tidak turun secara langsung melakukan pemeriksaan terkait pihak-pihak yang dicurigai sebagai mafia migas. Bisa jadi sekarang mereka telah berganti jubah dan menjadi mafia di kerajaan baru melalui ISC Pertamina ini.
Di sinilah janji dan komitmen pemerintah untuk benar-benar memberantas mafia migas patut ditagih. Komitmen serta janji Pemerintah juga yang mengkampanyekan pembubaran Petral sebagai langkah terbaik untuk memberantas mafia migas dan meningkatkan pendapatan Pertamina patut dikawal dan ditagih lebih jauh. Jika semua tidak bisa dipertanggungjawabkan, dapat diciptakan opini bahwa pembubarah Petral hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menyingkirkan mafia dan kerajaan lama serta menggantinya dengan mafia bawaan pemerintah serta kerajaan baru bentukan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih getol lagi menyikapi hal ini agar pandangan serta kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah tetap terjaga. Patut kita tunggu bersama langkah yang akan diambil Pemerintah.[tk/red]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *