Oleh : Andi N Sommeng
Ekonomi Indonesia selalu diceritakan dalam nada heroik: “tumbuh 5% stabil,” “inflasi terkendali,” “bonus demografi,” dan tentu saja—“jalan menuju Indonesia Emas 2045.” Tapi, di balik retorika optimistis itu, kita perlu menunduk sejenak pada teori ekonomi Anwar Shaikh . Ia bukan Keynes yang bicara multiplier, bukan Marx yang bicara eksploitasi, bukan Friedman yang bicara kebebasan pasar. Shaikh lebih mirip seorang pengamat keras kepala yang bilang: kapitalisme itu bukan harmoni, tapi arena pertarungan.
Kapitalisme sebagai Persaingan Brutal
Shaikh menolak bayangan ekonomi neoklasik tentang pasar yang tenang dan rasional. Ia juga menolak ilusi Keynesian bahwa negara bisa selamanya menyelamatkan pasar dari kehancuran. Bagi Shaikh, kapitalisme itu mirip arena gladiator: kompetisi memaksa perusahaan untuk menekan biaya, menurunkan upah, mencari teknologi yang lebih cepat, dan sesekali merugikan rakyat lewat monopoli atau krisis.
Indonesia? Silakan lihat industri sawit, nikel, atau retail online. Perang diskon Shopee–Tokopedia, misalnya, adalah versi digital dari gladiator. Di awal, konsumen bersorak: “murah, murah!” Tapi ketika salah satu tumbang, yang tersisa adalah pemain besar dengan harga yang kembali “normal,” bahkan lebih tinggi.
Pertumbuhan, Tapi untuk Siapa?
Dalam Shaikhian economics, pertumbuhan tidak otomatis berarti kesejahteraan. Pertumbuhan bisa terjadi bersamaan dengan ketimpangan. Indonesia tahu benar soal ini. Gini ratio boleh stagnan di sekitar 0,38, tapi kenyataan di jalanan—mal makin ramai, rumah susun makin padat. Sebagian orang bisa memesan latte Rp60 ribu di Senopati, sementara sebagian lain menunggu bansos beras.
Shaikh menekankan: distribusi pendapatan adalah hasil konflik, bukan konsensus. Di sini, kita perlu jujur bertanya: 5% pertumbuhan ekonomi Indonesia itu milik siapa? Apakah milik buruh yang gajinya naik tipis di bawah inflasi? Atau milik konglomerat tambang yang kini menjual nikel ke Tesla?
Krisis Sebagai Bagian dari Sistem
Bagi Shaikh, krisis bukan anomali, melainkan jantung kapitalisme itu sendiri. Indonesia sering lupa hal ini . Setiap kali ada gejolak rupiah atau defisit APBN, pejabat kita bicara shock eksternal, seakan ada alien dari luar negeri yang mengguncang pasar. Padahal, siklus utang–kredit, siklus investasi, bahkan siklus politik kita sendiri sudah cukup menciptakan badai.
Coba ingat krisis 1997–98: utang swasta dalam dolar, deregulasi keuangan, dan rente politik saling menyulam. Itu bukan meteor jatuh dari langit. Itu sistem kapitalisme Indonesia yang meledak dari dalam.
Kebijakan Negara: Wasit atau Pemain?
Shaikh tidak anti-negara, tapi ia menolak ilusi bahwa negara netral. Negara sering menjadi pemain yang berpihak, bukan sekadar wasit. Di Indonesia, subsidi BBM selalu jadi drama politik: sekali dicabut rakyat marah, sekali diberikan fiskal jebol. Tapi lihat baik-baik: siapa yang paling diuntungkan? Pabrik semen, perusahaan transportasi, atau rakyat kecil yang motor Supra-nya hanya bisa minum Pertalite?
Pertanyaan untuk Indonesia Emas
Jika memakai kacamata Shaikh, pertanyaan mendasar kita bukanlah “bagaimana tumbuh 7%,” tapi “siapa yang mendapat apa dari pertumbuhan itu.” Apakah bonus demografi benar-benar bonus bagi kaum muda? Atau hanya bonus bagi investor asing yang datang mencari tenaga kerja murah? Apakah industrialisasi nikel adalah jalan menuju kemakmuran nasional, atau hanya episode baru dalam sejarah panjang resource curse?
Catatan Penulis
Shaikh mengingatkan kita: jangan percaya pada mitos harmoni ekonomi. Kapitalisme Indonesia penuh konflik—antara buruh dan pemilik modal, antara rakyat kecil dan elite rente, antara janji kampanye dan realitas subsidi.

Mungkin inilah yang harus dipertanyakan dalam narasi “Indonesia Emas 2045.” Apakah kita menuju emas sebagai logam mulia yang menyejahterakan semua, atau emas sebagai batangan yang disimpan segelintir orang di brankas bank Singapura? [•]
|A||N||S|
Notes, Buitenzorg, September2025.
Verba Volant Script Manent
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *