Oleh : Andi N Sommeng
Kalau orang Perancis bilang La Nation, une et indivisible , kita di Nusantara lebih suka bilang NKRI harga mati . Perbedaannya tipis-tipis saja. Bedanya, orang Perancis sudah sempat memenggal kepala rajanya, sementara kita di sini malah memberi karpet merah, kursi empuk, dan sesekali kontrak proyek.
Negara Kesatuan kita ini bukanlah sesuatu yang lahir dari revolusi berdarah macam Bastille runtuh. Tidak ada rakyat berbondong-bondong menyerbu penjara, hanya ada rakyat berbondong-bondong menyerbu flash sale di marketplace . Kalau di Paris rakyat berteriak Liberté, Égalité, Fraternité , di Senayan teriakannya lebih merdu: “ Tunjangan rumah dinaikkan, tunjangan kinerja diperbaiki, dan jangan lupa wifi gratis di ruang rapat .”
Kerajaan-kerajaan Nusantara, bukannya bubar, justru tambah makmur di bawah naungan Republik. Sultan-sultan baru kita tampil di televisi dengan baju kebesaran, tetapi jangan salah, di baliknya ada bisnis properti, bisnis migas, bisnis hotel bintang lima, sampai tambang nikel, batubara dan sawit. NKRI ibarat republik dengan mahkota koleksi. Jadi kalau dibilang Indonesia negara demokrasi, ya benar. Tapi demokrasi dengan bonus kerajaan: ibarat beli motor di showroom, dapat helm gratis.
Republik Perancis lahir karena rakyat muak pada aristokrasi. Republik kita lahir karena rakyat muak pada Belanda. Bedanya lagi, di Perancis kepala raja dipenggal, di sini kepala rakyat yang dipusingkan tiap kali harga beras naik.

Simbol aristokrasi di Perancis adalah Bastille. Simbol aristokrasi di Indonesia? Coba ke Bandara Soekarno-Hatta. Ada antrean ekonomi panjang seperti ular, dan ada jalur cepat penuh orang yang jalannya lebih tegap, bagasinya lebih banyak, wajahnya lebih berkilat. Itulah Versailles Terminal 3 .
NKRI ini katanya “satu dan tak terbagi”. Padahal kalau kita jujur, yang satu itu utang negara, yang tak terbagi itu kontrak proyek. Republik ini ibarat warung Padang: nasi boleh sama, tapi lauknya beda-beda tergantung duit. Ada kerajaan BUMN, kerajaan partai, kerajaan ormas, kerajaan buzzer. Semua kerajaan hidup rukun di dalam republik.
Mungkin Rousseau kalau lahir di sini tak akan menulis The Social Contract , tapi The Social Konsinyering. Montesquieu juga barangkali tidak sempat menulis Trias Politica , karena sibuk antre bikin paspor haji. Dan Robespierre , kalau hidup di Jakarta, bukan berdiri di podium revolusi, tapi terjebak macet di Gatot Subroto, sambil mengelus-elus undangan rapat paripurna.
Jadi kalau ditanya: “Apakah Republik kita sudah bebas dari kerajaan?” Jawabannya gampang: “Ya, tentu saja. Kita sudah merdeka dari satu kerajaan besar, lalu menampung puluhan kerajaan kecil dengan menciptakan aristokrasi baru. ” Itulah NKRI: Republik yang penuh raja baru. Dan itu pula mungkin yang membuat kita istimewa—demokrasi tropis bercita rasa monarki, di mana rakyat bebas memilih pemimpin, dan pemimpin bebas mewariskan kekuasaan ke anak cucu.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *