Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuka perkara baru dugaan korupsi terkait dana proses arbitrase yang melibatkan dua perusahaan minyak di Filipina patut didukung publik. Sebagaimana yang disampaikan oleh juru bicara (Jubir) KPK Budi Prasetyo, bahwa pihaknya masih menyelidiki perkara tersebut. Atas dasar inilah, selayaknya lembaga anti rasuah ini bisa bekerjasama sinergis dengan penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) yang saat ini sedang berkinerja positif luar biasa dan on fire dalam menangkap aktor korupsi beserta barang buktinya.
Terkait dua (2) perusahaan minyak dan gas (Migas) Filipina, yaitu Phoenix dan Udena Corporation yang bekerjasama dengan cucu perusahaan PT Pertamina, yaitu Pertamina International Marketing and Distribution (PIMD/peran pengganti Petral), maka sinergi KPK dan Kejagung menjadi penting. Sebab, salah satu faktor kunci sebelum korporasi mengadakan kerja sama bisnis adalah mengetahui secara detail rekam jejak dan pengalaman rekanan dan analisa manajemen resikonya. Terkait dua (2) data awal inilah kerjasama Phoenix Petroleum Corp yang memiliki rekam jejak (track record) negatif di negaranya, Filipina dan ketiadaan analisa manajemen resiko (risk management) jelas menimbulkah masalah bagi PIMD di kemudian hari.

Sebab, melalui dua (2) faktor awal itulah publik patut menyalahkan Agus Wicaksono selaku dirut PIMD secara sengaja bertindak abai dalam melakukan uji tuntas (due diligence), sehingga harus menempuh peradilan arbitrase. Dengan tidak melakukan uji tuntas melalui proses investigasi, audit, atau kaji ulang (review) serta tidak mengonfirmasi fakta atau informasi atas pihak Phoenix, maka kesalahan tingkat pertama telah dilakukan oleh Dirut PIMD Agus Wicaksono. Artinya, Dirut PIMD telah bertindak ceroboh dan melakukan kelalaian sehingga berakibat timbulnya kerugian negara dan BUMN.
Selanjutnya, selain dokumen laporan temuan BPK atas besaran kerugian negara sejumlah Rp2,2 triliun (US$142 juta) tersebut. Maka, ada baiknya KPK dan Kejagung RI menelusuri pimpinan Pertamina lainnya, baik itu yang berada di jajaran sub holding (SH) PT. Pertamina Patra Niaga (PPN) maupun di Holding-nya PT. Pertamina. Tidak mungkin sebuah kerjasama strategis lintas negara tanpa adanya koordinasi dengan jajaran atasan yang lebih berwenang mengambil keputusan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan aktor politik tertentu yang memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) atas ekspor produk BBM itu.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *