Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Salah satu faktor penyebab rendahnya penyerapan kredit dan melimpahnya dana cair (likuiditas) atau mengendap di perbankan umum, yaitu BI checking atau SLIK. Artinya, perbankan umum di Indonesia tidak bergerak dari prinsip konvensionalnya dalam melayani nasabah, baik debitur maupun kreditur. Mengapa disebut konvensional dan bahkan primitif? Apa sebenarnya kegunaan dan fungsi BI checking atau SLIK yang sejak tahun 2018 berada dalam kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sebelumnya berada di Bank Indonesia (BI).
BI Checking adalah istilah lama saat kewenangan masih berada pada BI. Setelah berada dalam kewenangan OJK, maka disebut istilahnya Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Pengertiannya sama, yaitu ketentuan yang berisi riwayat kredit seseorang atau badan usaha. Sistem ini berfungsi untuk mencatat informasi tentang pinjaman, riwayat pembayaran, dan profil kredit lainnya. SLIK ini digunakan oleh lembaga keuangan dalam menilai kelayakan calon debitur ketika mengajukan kredit barunya.
Ketentuan BI Checking atau SLIK saat ini terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18/POJK.03/2017 tentang Pelaporan dan Permintaan Informasi Debitur Melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK, beserta perubahan dan perubahannya, serta peraturan terkait perlindungan konsumen dan perbankan. Peraturan awal yang membentuk sistem informasi debitur, dan menjadi cikal bakal BI Checking sebelum beralih ke OJK, yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/14/PBI/2007 tentang Sistem Informasi Debitur (SID).
Selain itu, terdapat pula Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan yang memberikan payung hukum untuk perlindungan konsumen dalam pemanfaatan layanan jasa keuangan, termasuk akses informasi kredit. Artinya, bahwa urusan utang (debitur) dan piutang (kreditur) merupakan suatu proses transaksi yang juga melibatkan para pihak atau ada konsumen dan produsen (jasa keuangan).
Sulitnya Kredit Subsidi
Berdasarkan laporan BI, terdapat perlambatan pertumbuhan kredit secara riil pada bulan Juli 2025 menjadi 7,03% disatu sisi. Disisi yang lain, dibulan Juli 2025 tercatat pertumbuhan DPK perbankan sebesar 7% secara tahunan (year on year/YoY). DPK ini menurut BI, menjadi yang paling tinggi sepanjang tahun berjalan serta lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2024 yang hanya mencapai 4,48%. Selanjutnya, menurut laporan OJK, DPK di perbankan pada periode tersebut tercatat berjumlah Rp9.294 triliun bertambah banyak dibanding tahun 2024 sejumlah Rp7.720 triliun atau meningkat Rp1.574 triliun (16,9%).
Sebegitu banyaknya dana cair (likuiditas) yang mengendap pada lembaga keuangan bukankah kontraproduktif untuk memacu pertumbuhan ekonomi? Bukankah tindakan menghambat penyaluran kredit kepada masyarakat menghambat program pemerintah memajukan perekonomian rakyat secara inklusif? Adakah hubungan BI Checking atau SLIK ini dengan lambatnya pertumbuhan kredit di Indonesia? Tentu ada kaitannya apabila sebagian besar debitur lembaga keuangan pengembalian pinjamannya macet atau bermasalah.
Pada tahap inilah, macetnya pengembalian utang dari debitur memperoleh penanganan melalui SLIK OJK sehingga tidak bisa mengajukan utang baru lagi malah kena daftar hitam (black list). Namun, ada perlakuan yang aneh dalam berbagai kasus utang atau pinjaman debitur kecil. Debitur kecil ini seolah dianggap melakukan kejahatan yang tidak bisa dihapuskan atau diampuni sebelum utang dilunasi. Meskipun macetnya pengembalian utang debitur diakibatkan oleh kondisi perekonomian yang krisis atau keadaan di luar kendali (force majeur).
Bahkan, untuk menyelesaikan utang macet itu pihak lembaga keuangan (bank dan non bank) melimpahkannya kepada pihak ketiga yang dikenal dengan penagih pinjaman (debt collector/DC). Dan, tidak jarang berakhir pada tindak kekerasan yang merugikan jiwa kedua belah pihak, yang ditagih maupun yang menagih. Kejadian seperti inilah yang membuat pendekatan lembaga keuangan melalui jasa DC mencekik sekaligus primitif. Atau tidak memanusiakan manusia yang sedang dalam kesulitan keuangan. Jauh dari nilai ideologi Pancasila dan Ekonomi Konstitusi.
Banyak keluhan telah disampaikan para pengusaha mikro, kecil dan menengah yang harta kekayaannya (asset) dilelang akibat kredit macet dan oleh kebijakan SLIK yang mencekik. Tidak hanya itu, program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto dalam membangun 3 juta rumah rakyat tidak beroleh dukungan lembaga keuangan gara-gara kebijakan SLIK OJK yang mencekik ke bawah, longgar ke atas. Kebijakan untuk mereka di kelompok bawah ini begitu keras dan tegas terkait persyaratan kredit subsidi! Bisakah kredit subsidi program Asta Cita berjalan efektif dan efisien mencapai pertumbuhan ekonomi 8%/tahun?
Sementara itu, korporasi swasta besar walaupun kreditnya macet atau bermasalah pernah beroleh Bantuan Lukuiditas Bank Indonesia/Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BLBI/KLBI). Disamping itu, pihak lembaga keuangan masih berkenan menyetujui penyaluran pengajuan utangnya dalam jumlah besar (sebagai contoh kasus PT. Sritex). Sebaliknya, sektor informal dan skala UMKM sejumlah Rp5.000-pun riwayat kredit macetnya, maka BI Checking atau SLIK tidak memberikan toleransi. Jelaslah penyaluran kredit untuk kelompok ini takkan berjalan akibat perbedaan perlakuan terkait riwayat kredit.
Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya BI checking atau SLIK beroperasi? Mengapa kepada debitur (nasabah) usaha mikro, kecil dan menengah SLIK sangat “kejam”? Mengapa BI Checking atau SLIK tidak konsisten diterapkan kepada korporasi swasta besar yang mempunyai riwayat kredit macet atau bermasalah? Adakah indikasi kongkalikong oknum OJK dengan lembaga keuangan untuk kredit besar? Disaat kelompok masyarakat kecil, miskinlah yang membutuhkan kredit subsidi tapi dicekik oleh SLIK.
Maka, dapatlah disimpulkan bahwa pertumbuhan kredit yang rendah disaat DPK meningkat disebabkan oleh faktor SLIK yang tidak wajar (fair) dan adil kepada debitur. Faktanya, untuk kredit korporasi besar lembaga keuangan begitu “lunak” menerapkan kebijakan SLIK. Tidak lunak dalam hal tindaklanjut kebijakan penghapusan kredit macet bagi 1 juta pelaku UMKM agar diberi kelonggaran memperbaiki kondisi usahanya mereka. Apalagi, kebijakan itu telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 (PP 47/2024) dengan penghapusan utang senilai Rp14 triliun, tetapi tetap berjalan lambat. Seharusnya kelompok kecil yang jumlahnya besar inilah lebih prioritas diperhatikan lembaga keuangan atas status SLIK-nya.

Oleh karena itu, perlu adanya perubahan kebijakan BI Checking atau SLIK yang konvensional dan lebih memberikan ruang bagi kemudahan memperoleh kredit. Salah satu caranya selain melakukan penghapusan kredit macet (write off) kepada debitur kecil dan UMKM sesuai kebijakan pemerintah serta memperlonggar persyaratan 5C perbankan, kecuali karakter (Character). Hal ini ditujukan agar dana cair jumbo (fully liquid) di perbankan dapat meningkatkan pertumbuhan kredit UMKM, khususnya bagi program swasembada pangan, energi dan perumahan rakyat. Bukan malah menambah dana likuiditas yang telah berlebih (over liquid) dan mengendap melalui penempatan dana pemerintah Rp200 triliun di perbankan.[•]%
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *