ads_hari_koperasi_indonesia_74

Ketimpangan Pendapatan Sumbar Semakin Menipis

Ketimpangan Pendapatan Sumbar Semakin Menipis

Oleh: Defiyan Cori

Ekonom Konstitusi

Meskipun capaian kinerja perekonomian Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) tidak menunjukkan kemajuan yang berarti selama 15 tahun terakhir. Namun, tingkat ketimpangan pendapatan secara struktural berdasar rasio gini semakin menipis. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini secara nasional tahun 2024 tercatat 0,381, sedangkan Sumbar hanya 0,287 atau lebih baik distribusinya sebesar 0,094 poin. Hal ini berarti terjadinya proses pemerataan pembangunan atas capaian pertumbuhan ekonomi diindikasikan oleh tingkat pendapatan per kapita penduduk yang terdistribusi lebih baik.

Memang, pertumbuhan ekonomi tahun 2024 yang berhasil dicapai hanya sebesar 4,36 persen jauh di bawah kinerja nasional yang sebesar 5,03 persen. Hanya saja, distribusi pendapatan per kapita atas capaian pertumbuhan ekonomi nasional meskipun tinggi tapi rasio gini lebih timpang dibanding Sumbar. Perbedaan tingkat ketimpangan pendapatan per kapita penduduk ini merepresentasikan bahwa intervensi kebijakan program ekonomi pemerintah Sumbar lebih efektif mengurangi tingkat ketimpangan dibanding yang dilakukan pemerintah pusat.

Bahkan, diera kepemimpinan tahun pertama pasangan Gubernur Mahyeldi dan Wakil Gubernur (Wagub) Vasko Ruseimy rasio gini Sumbar semakin terkoreksi baik. Pada semester I/2025 kinerja pemerintah Sumbar atas rasio gini ini semakin berhasil menipiskan angkanya menjadi 0,282 jauh lebih rendah dibanding angka ketimpangan nasional yang sebesar 0,375. Dan, rasio gini ini juga dicapai atas capaian pertumbuhan ekonomi Sumbar yang lebih rendah terhadap kinerja nasional, yaitu 3,94% berbanding 5,12% secara tahunan (year on year/yoy).

Capaian ini menunjukkan pendapatan per kapita penduduk DKI Jakarta jauh lebih timpang secara nasional atau tertinggi se Indonesia. Sekalipun, struktur spasial produk domestik regional bruto (PDRB) wilayah se Pulau Sumatera, kontributor terbesarnya adalah Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yaitu 23,50%. Sayangnya, secara regional, kontribusi terbesar PDRB Sumut itu menghasilkan rasio gini sebesar 0,292. Sementara pertumbuhan ekonomi tertinggi se-Sumatera yang dicapai oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), sebesar 7,14% membuat ketimpangan pendapatan per kapita 0,382.

Yang menarik, rasio gini Ibukota Negara (IKN) DKI Jakarta yang megah dan gemerlap justru semakin melebar pada periode tersebut, yaitu 0 441. Tidak berbeda dengan daerah lain ternyata pertumbuhan ekonomi semester I/2025 sebesar 5,18% justru menghasilkan ketimpangan pendapatan per kapita di atas angka nasional. Rasio gini ini menunjukkan bahwa distribusi struktural pendapatan per kapita penduduk tidak merata atau semakin timpang. Agaknya, inilah yang membuat adanya ketidakpuasan sosial terkait perkembangan perekonomian masyarakat di DKI Jakarta yang berujung protes sosial.

Ketertinggalan Sumbar dalam capaian pertumbuhan ekonomi tahun 2021, 2024 dan Triwulan II/2025 atas 9 (sembilan) provinsi lain (rata-rata 5%) di Pulau Sumatera malah menghasilkan kinerja pemerataan pembangunan tertinggi. Akselerasi perekonomian di wilayah Sumatera (selain Sumbar) yang mengindikasikan terjadinya transformasi struktural dan sektoral yang kontributif di satu sisi tidak berdampak pada rasio gini. Di sisi lain, capaian pertumbuhan ekonomi Sumbar yang terendah justru semakin menipiskan jurang ketimpangan antar penduduk. Atau tidak terbaginya kue pembangunan secara adil dan merata dari pertumbuhan ekonomi wilayahnya.

Pertanyaan yang mengemuka tentulah, apa strategi dan program prioritas pembangunan Sumbar yang membuat rasio gini tersebut menipis? Disaat provinsi yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di atas rata-rata nasional, seperti Sumut, Jambi, Riau dan Kepri tetapi tidak mampu mengurangi ketimpangan. Mungkin saja pertumbuhan ekonomi daerah tertinggi itu hanya didorong oleh dominasi sektor tertentu dan skala usaha korporasi yang hanya mensejahterakan orang per orang atau segelintir orang saja. Sebaliknya, skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta koperasi terpinggirkan. Hal inilah agaknya yang tidak terjadi dalam kinerja perekonomian Sumbar yangmana skala UMKM dan Koperasi berkontribusi secara berimbang.[•]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *