Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Jauh panggang dari api, apa yang dipidatokan soal efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan (good and clean governance) dengan apa yang dikerjakan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkannya tentu baik saja, tapi justru kabinet gemuk dibentuknya. Apakah ini langkah paradoks yang dituliskan dalam bukunya PARADOKS INDONESIA? Lalu muncul lagi gelegar petir di siang bolong terkait APBN tanpa defisit, apakah akan menjadi langkah paradoks lagi?
Seharusnya APBN tanpa defisit itu sudah sejak dulu bisa dilakukan asalkan tidak menempatkan Menteri Keuangan ahli defisit. Mengapa APBN tanpa defisit sangat mungkin untuk diterapkan? Sebab, diera pemerintahan Presiden almarhum Bapak Soeharto telah membuktikannya. Pada saat almarhum Bapak Soeharto memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia inilah Sri Mulyani yang saat itu sebagai pengamat ekonomi mengkritik pengelolaan utang luar negeri dan APBN yang berimbang atau tanpa defisit.
Sebenarnya kerangka logis anggaran itu sederhana saja alias tidak rumit. Dan, bisa dianalogikan dengan pengelolaan anggaran sebuah Rumah Tangga (keluarga) dalam skala mikro. Hal mana dipraktekkan oleh Sri Mulyani dan para ibu lainnya dikeluarga mereka. Prinsipnya, apa hasil yang diterima, itulah yang dikelola secara efektif dan efisien dibelanjakan untuk pembangunan. Lalu, kenapa memilih APBN defisit bertahun-tahun? Kemudian, menambal kekurangannya dengan utang dalam dan luar negeri dan menciptakan skema pajak baru atau besar pasak daripada tiang?
Politik Anggaran atau Anggaran Politik
Kebijakan anggaran postulatnya merupakan cabang dari ilmu ekonomi mikro yang berkaitan dengan pilihan (choice) atau istilah teori konsumen adalah preferensi. Dalam perspektif Rumah Tangga makro seperti negara disebut sebagai politik anggaran. Politik anggaran ini cara pemerintah memanfaatkan sumber daya (resources) yang tersedia untuk mencapai visi-misi dan tujuan dalam jangka waktu tertentu. Konsep ini jelas berbeda dengan anggaran politik atau sumber daya digunakan hanya untuk tujuan kepentingan politik saja dengan sangat akomodatif dan transaksional.
Secara teori, prinsip memilih dalam kebijakan publik (Public Choice Theory) ini disampaikan oleh JM Buchanan (2003). Public Choice Theory applies the principles of microeconomics to the study of politics, analyzing how individuals in the public sector, such as voters and politicians, are motivated by self-interest when making decisions. Lalu, alat ekonomi digunakan untuk mendukung perilaku pemerintahan, konstituen dan proses dilegislatif. Lalu, menetapkan kebijakan besaran insentif secara resmi untuk mempengaruhi publik beserta alokasinya untuk belanja barang dan jasa.
Mengacu pada teori itu, maka visi-misi Asta beserta program prioritas Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak membentuk organisasi kabinet yang gemuk. Apalagi, menambah kementerian/lembaga negara (K/L) yang tak ada kaitannnya dengan visi-misi Asta Cita yang justru memboroskan anggaran dan keuangan negara. Jelas bertolak belakang atau paradoks dengan kebijakan Presiden RI melakukan efisiensi dan efektifitas APBN itu sendiri. Malah, Presiden justru melawan logika publik dan teori public choice dengan menyampaikan: “Ada yang mengatakan kabinet kita gemuk, banyak. Tapi kalau banyak orang hebat, kenapa? Yang menikmati rakyat Indonesia.
Permasalahannya, bukan terletak pada orang yang hebatnya Bapak Presiden Prabowo Subianto yang baik, tapi kemanfaatan yang efisien dan efektif dan kaitannya dengan batasan APBN (budget constraint). Sebagai contoh, Kabinet Merah Putih yang dibentuk memiliki 7 menteri koordinasi (menko) 41 menteri, serta 56 wakil menteri (Wamen) ditambah berbagai staf ahli dan khusus di lembaga Kepresiden. Anggaplah staf ahli dan khusus tak diberikan insentif atau gaji (walaupun tak mungkin), total anggota kabinet 104 orang.
Mari kita hitung alokasi anggaran gaji dan tunjangan para anggota kabinet sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Wamen Ketenagakerjaan (Wamenaker) sebelum jadi tersangka korupsi. Wamenaker dalam sebuah percakapan konten digital (podcast) menyatakan jumlah yang diterimanya yaitu sejumlah Rp46 juta per bulan. Dengan demikian, total anggaran per bulan untuk gaji dan tunjangan 104 orang anggota kabinet adalah Rp4,784 miliar dan per tahun berjumlah Rp57,4 miliar. Bukankah ini tindakan inefisiensi dan inefektifitas atau pemborosan, Bapak Presiden Prabowo Subianto?

Selanjutnya, dari alokasi belanja negara dalam Rancangan APBN 2026 (RAPBN) justru alokasi belanja pemerintah pusat porsinya lebih besar, yaitu senilai Rp 3.136 triliun. Alokasi belanja negara yang ditetapkan juga mengalami peningkatan sebesar 7,3% (tahun 2025 Rp3.621,3) menjadi Rp 3.786,5 triliun. Sementara, realisasi belanja pemerintah pusat pada tahun 2024 hanya sejumlah Rp2.486,7 triliun atau dinaikkan Rp1.299,8 triliun ditahun 2026. Apakah ini yang disebut kebijakan efisiensi Bapak Presiden Prabowo Subianto yang terhormat! Bukankah ini paradoks sebagaimana yang terdapat dalam buku PARADOKS INDONESIA?
Belanja itu juga harus dialokasikan sekitar kurang lebih Rp800 triliun untuk pembayaran utang jatuh tempo secara tetap (fixed cost) setiap tahunnya. Sebagaimana halnya alokasi tetap untuk belanja pegawai dan 20 persen untuk sektor pendidikan. Total belanja tetapnya untuk kedua pos anggaran ini yang masing-masing senillai Rp580,7 triliun (naik 11,6% dibanding 2024) dan Rp757,3 triliun berjumlah Rp1.338 triliun. Pertanyaannya, apakah penerimaan negara mampu memenuhi semua belanja pusat tersebut?
Data dan faktanya, mengacu pada realisasi penerimaan negara pada tahun 2024 sejumlah Rp1.932,4 triliun, maka membuat APBN tak defisit itu adalah misi yang tak mungkin (mission impossible). Sebab, dari pembayaran cicilan utang, belanja pegawai dan hak alokasi 20 persen sektor pendidikan totalnya menjadi Rp2.138 triliun atau telah defisit sejumlah Rp205,6 triliun. Justru selisih penerimaan negara atas 3 (tiga) pos ini saja tidak mencukupi untuk membiayai program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dialokasikan sejumlah Rp335 triliun ditahun 2026.
Lalu, apakah tak ada penyelesaian atas kondisi keuangan negara dan APBN yang selalu defisit tersebut? Jelas, masih banyak cara atau ibarat ungkapan banyak jalan ke roma. Salah satunya menyusun politik anggaran yang konsisten dengan komitmen visi-misi Asta Cita dan program prioritas. Bentuk kabinet yang tidak mengakomodasi anggaran politik melalui pemangkasan dengan jumlah tidak lebih dari 17 orang Menteri (sebagaimana pemerintahan awal Presiden Soeharto). Selain itu, rasionalisasi berbagai fasilitas yang diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan berbagai lembaga politik dan independen lainnya yang tumpang tindih.
Bukan malah Dana Alokasi Umum (DAU) dan transfer ke daerah yang dipotong sehingga bertentangan dengan komitmen “membangun dari daerah dan desa”. Maka, kasus kenaikan pajak yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah (Pemda) yang belakangan diprotes masyarakat memperoleh justifikasinya. Yaitu, pemerintah pusatlah biang keroknya yang “berfoya-foya” atas APBN dengan “memiskinkan” daerah. Apakah model seperti ini politik kepemimpinan yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi UUD 1945 Bapak Presiden RI? Padahal menurut pandangan kolega kami Yudi Latif Indonesia membutuhkan pemimpin yang paripurna atau selesai soal materi atas dirinya.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *