Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT ke-80 RI) adalah sebuah momentum! Tidak hanya angka 80 tahun yang khusus, tapi juga kepemimpinan nasional berada ditangan Presiden ke-8, yaitu Bapak Prabowo Subianto. Pertanyaannya selama hampir 10 bulan memerintah apa saja kinerja yang telah ditorehkan pemerintahan periode 2024-2029 ini? Yangmana saat baru menjabat Presiden Prabowo melakukan “gebrakan” yang tak masuk akal, yaitu membentuk organisasi kabinet yang gemuk sekaligus melakukan efisiensi anggaran Kementerian/Lembaga Negara. Sebuah kebijakan paradoks yang dilakukan justru yang dikritiknya dalam sebuah buku yang berjudul PARADOKS INDONESIA!
Tanah Air-ku ndonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang mulia…. sebait dari lagu nasional yang menunjukkan kebanggaan serta frasa semangat pelestarian dan keberlanjutan pengelolaan kekayaan alamnya bagi masa depan generasi penerus. Artinya, bukan keberlanjutan portofolio kabinet yang sebagian besar merupakan para Menteri/Wakil Menteri (Wamen) anggota kabinet mantan Presiden Joko Widodo!
Tanah dan Air tidak hanya penampakan fisik yang selalu dilihat manusia, tetapi juga merupakan bagian dari struktur yang membentuk tubuh manusia. Tanpa tanah dan air, maka manusia hanya tinggal kulit, tulang dan nyawa jika tidak diambil kembali oleh Yang Maha Pencipta. Jadi, tanah dan air adalah faktor krusial bagi keberlangsungan kehidupan alam raya dan manusia. Apabila terjadi krisis tanah dan air, maka kelangsungan tanah dan makhluk hidup serta kehidupan manusia akan terancam!
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk melalui pengorbanan para pejuang dan pendiri bangsa (founding fathers) tidak lahir dari paradoks, tetapi perasaan senasib sepenanggungan. Yang memperhatikan dengan serius soal pengelolaan tanah dan air serta kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terkandung di dalamnya bagi kemakmuran rakyat. Sebabnya, selama masa kolonialisme, yang didahului oleh misi dagang VOC dari Belanda telah memonopoli SDA dan jalur perdagangan.
Penguasaan itulah yang mengakibatkan kemiskinan, penindasan, penghisapan, dan kesewenang-wenangan atas bumi putera sampai akhirnya muncul perasaan senasib sepenanggungan membentuk pemerintahan berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Terkait pengelolaan SDA inilah, maka konstitusi UUD 1945 Pasal 33, ayat 3, menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara serta dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Lalu, bagaimanakah tata kelola Sumber Daya Alam (SDA) ini diatur oleh pemerintah agar alokasi, kelangkaan dan krisis kebutuhan hajat hidup orang banyak dapat diantisipasi? Pasalnya, isu penguasaan tanah dan air serta kekayaan SDA ini juga menjadi perhatian serius (concern) dunia yang terbagi dalam sektor pangan dan energi (food, energy and water/FEW). Apakah terjadi paradoksisasi juga dalam pengelolaannya?
Data Palsu dan Rekayasa (Fiktif)
Visi-Misi Asta Cita Presiden RI Prabowo Subianto sangat sejalan dengan ide dan gagasan penegakkan Ekonomi Pancasila yang dicetuskan oleh guru besar ekonomi UGM almarhum Profesor Mubyarto. Hal mana juga kami lanjutkan melalui tawaran Sistem Ekonomi/Koperasi. Keberhasilan pencapaian kinerja Asta Cita tidak hanya tergantung pada kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ansich, melainkan juga para Menteri yang notabene pembantunya sebagai the man behind the gun. Sayangnya, justru para pembantu Presiden mayoritas adalah mantan Menteri dari Presiden sebelumnya, yaitu Joko Widodo yang loyalitasnya disangsikan.
Setidaknya, hal ini tampak dari cara para Menteri yang dulu ikut dalam kabinet Indonesia Kerja dan Maju melakukan pencitraan dan menyajikan data kepada publik. Sebagaimana pertama kali hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) terkait keputusan pemerintah untuk tidak melakukan impor sejumlah komoditas utama pada tahun 2025.
Keputusan tersebut mencakup untuk komoditas gula, beras, garam, dan jagung dan merupakan perintah langsung dari Presiden Prabowo Subianto. Menurut Zulhas, kebijakan ini ditujukan agar pemerintah fokus pada upaya meningkatkan swasembada pangan di dalam negeri. Benarkah demikian data dan faktanya? Jelas tidak mungkin dan hanya Asal Presiden Senang (APS)! Mari kita periksa data dan fakta produksi dan konsumsi beras nasional.
Dari aspek produksi, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) untuk komoditas beras, produksi padi pada 2024 diperkirakan hanya berjumlah 52,66 juta ton Gabah Kering Giling.(GKG). Hasil ini mengalami penurunan sejumlah 1,32 juta ton GKG atau 2,45 persen dibandingkan produksi padi di 2023 yang sebesar 53,98 juta ton GKG. Penurunan ini sebagai akibat luas panen padi yang berkurang pada periode 2024 dengan perkiraan hanya sekitar 10,05 juta hektare (ha). Atau mengalami penurunan sejumlah 167,25 ribu ha, yaitu sebesar 1,64 persen dibandingkan luas panen padi di 2023 yang sejumlah 10,21 juta ha.
Produksi beras pada 2024 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,34 juta ton, juga mengalami penurunan sejumlah 757,13 ribu ton atau 2,43 persen dibandingkan produksi beras di 2023 yang dapat dicapai 31,10 juta ton disatu sisi. Sedangkan disisi lain, konsumsi beras berdasarkan hasil Susenas September 2022 menunjukkan, bahwa tingkat partisipasi konsumsi masyarakat masih sebesar 98,35 persen.
Artinya, ada kesenjangan (lack) antara data dan fakta kapasitas produksi beras dengan kebutuhan konsumsi beras masyarakat. Dan, tidak mungkin tak melakukan impor! Apalagi, BPS juga mencatat, Indonesia telah mengimpor beras periode Januari-Oktober 2024 sejumlah 3,48 juta ton dengan nilai US$2,15 miliar atau setara Rp34,19 triliun. Para Menteri seperti Zulhas ini hanya akan menjadi “duri dalam daging” dikabinet Merah Putih.
Tidak hanya Zulhas, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman yang juga menjabat posisi sama diera Presiden Joko Widodo-pun begitu, melakukan tipu daya (bluffing) dengan data dan fakta yang sebenarnya. Gayanya ceplas ceplos telah melakukan berbagai tindakan kepada bawahannya yang korupsi atau main mata dengan para mafia pangan. Faktanya, justru manipulasi data pangan yang diklaim sebagai surplus dan kasus beras oplosan banyak diperjualbelikan ditengah masyarakat.
Budi Arie Setiadi, sang Menteri Koperasi yang dulu menjabat Menkominfo diera Presiden Joko Widodo juga menyajikan data palsu dan merekayasa pendirian badan usaha koperasi. Peluncuran program 80 ribu Koperasi Merah Putih (KMP) secara serentak pada tanggal 21 Juli 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto perlu diperiksa keabsahan hasilnya. Benarkah pembentukan koperasi itu sesuai prinsip dan prosedur perkoperasian yang berlaku serta mempunyai kegiatan usaha?
Jangan sampai, program yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan kemandirian bangsa, dengan fokus pada pengembangan koperasi di tingkat desa dan kelurahan hanya berbentuk dokumen akta notaris saja. Dan, masih banyak lagi contoh kasus para Menteri mantan Presiden Joko Widodo ini yang membuat ulah dengan data palsu dan rekayasa melalui pencitraan atau tipu daya memoles laporan kepada Presiden Prabowo Subianto. Akankah dibiarkan terus!?
Kinerja Kapitalisme diera Reformasi
Itu baru data dan fakta disatu bidang isu saja yaitu pangan yang merupakan hajat hidup orang banyak terkait sasaran swasembadanya. Dibidang energi tidak berbeda, khususnya minyak dan gas bumi (Migas) juga terkait kekurangan produksi atas konsumsi masyarakat atau konsumen. Sebab, sejak tahun 2002 Indonesia telah menjadi negara pengimpor bersih (net importir) atau bukan lagi produsen migas dunia. Masa kejayaan migas Indonesia telah berada pada era terbenamnya matahari atau sunset policy dan harus memacu tumbuh berkembangnya energi alternatif, yaitu energi baru dan terbaharukan (EBT).

Fokus pada kedua (2) sektor, yaitu pangan dan energi ini penting untuk mendukung kesuksesan visi-misi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, khususnya sasaran swasembada pangan dan energi nasional. Sebagaimana kinerja yang pernah dicapai oleh mantan Presiden RI diera Orde Baru (Orba), almarhum Bapak Soeharto (1967-1998). Hanya dalam waktu tiga (3) tahun pemerintahan Presiden Soeharto mampu mencapai pertumbuhan ekonomi tertinggi, yaitu 10 92 persen pada tahun 1970. Hal mana capaian ini belum bisa ditandingi Presiden lain diera reformasi dengan sistem ekonomi kapitalisme yang masih berjalan.
Capaian pertumbuhan ekonomi diera transisi reformasi Presiden almarhum BJ Habibie yang singkat setelah terpuruk diangka -13,3 persen berhasil dicapai 0,79 persen. Pada masa pemerintahan Presiden almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pertumbuhan ekonomi yang dicapai (1999-2001) berkisar 3,64-4,92 persen. Masa pemerintahan almarhum Gus Dur dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) dengan capaian pertumbuhan ekonomi rata-rata 4 78-5,03 persen.
Setelah demokrasi pilihan Presiden secara langsung (Pilpresung) berlaku dan dicabutnya kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR RI), maka Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden RI periode 2004-2014. Keterpilihan SBY diperiode pertama Pilpresung ini semakin menegaskan corak sistem kapitalisme-liberalisme yang dijalankan pemerintahan. Prestasi tertinggi pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen juga berhasil dicapai era Presiden SBY, yaitu 6,3 persen tahun 2007 dan 6,5 persen di 2011.
Sedangkan, Presiden Joko Widodo yang terpilih diperiode kedua Pilpresung dengan masa jabatan juga 10 tahun (2014-2024) hanya mampu mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi 4,88-5,17 persen. Atau lebih buruk dibanding yang dicapai selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY. Sebuah kinerja perekonomian terburuk yang pernah dicapai sepanjang sejarah pemerintahan pasca Orde Baru atau dalam masa reformasi selama 22 tahun.
Secara umum, angka kinerja ekonomi makro Indonesia lainnya diera reformasi tidak lebih baik dibanding era pemerintahan Presiden almarhum Soeharto. Kemerosotan ekonomi (istilah Menteri Keuangan RI) menunjukkan potensi ke arah tata kelola yang salah dan menyimpang dari ideologi negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Tingkat pengangguran dimasa awal pemerintahan Orba yang sebesar 60 persen berhasil diturunkan menjadi 11,24 persen. Selanjutnya, diperiode Presiden BJ Habibie tingkat pengangguran turun menjadi 6 persen. Sementara itu, diera Presiden almarhum Gus Dur dan Ibu Megawati SP rata-rata tingkat pengangguran berkisar 6-11 persen.
Diera Presiden SBY, tingkat pengangguran kembali mampu diturunkan yang berkisar diangka 5-7 persen. Justru diera Presiden Joko Widodo tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang rendah, tapi juga tingkat pengangguran naik dikisaran 5,30-6,26 persen. Hanya tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan (rasio gini) yang sedikit lebih baik dibanding para Presiden era reformasi sebelumnya, yaitu dikisaran 11,22-10,25 persen dan 0,39-041 persen. Namun, capaian kinerja ekonomi makro semua Presiden era reformasi tersebut belum mampu menandingi prestasi Presiden almarhum Bapak Soeharto.
Oleh karena itu, saatnya bagi Presiden RI Prabowo Subianto melalui visi-misi Asta Cita-nya melakukan refleksi atas capaian kinerja perekonomian Indonesia tersebut. Pembenahan struktur organisasi kabinet menjadi faktor kunci (key factor) dan bagian penting dalam melakukan perubahan memanfaatkan momentum HUT ke-80 RI. Lebih khusus, soal penegakkan ideologi negara dan UUD 1945 (Asta Cita ke-1) beserta organisasi kabinet yang gemuk dan mengabaikan prinsip efektifitas dan efisiensi APBN yang telah dijalankan. Tidak hanya masalah konsistensi implementasi kebijakan tersebut, tapi juga terkait penempatan para Menteri sebagai pembantu Presiden untuk mendukung kinerja pemerintahan.[•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *