Oleh : Andi N Sommeng
Menulis ulang esai refleksi perjuangan mahasiswa yang pernah saya tulis diawal tahun 80an, karena terinspirasi oleh sebuah buku yang ditulis oleh seorang wartawan dan penulis yang terkenal di zamannya ternyata tetap menarik.
Kini, lebih dari empat dekade berlalu, manusia indonesia apakah sudah berubah?. Walau situasi dan kondisinya sudah berubah. Saat ini, manusia Indonesia hidup di era media sosial, yang hidup dengan filter Instagram, yang bahkan lebih penting daripada filter etika.
Dalam buku Mokhtar Lubis Manusia Indonesia tahun 1977, menilai bahwa manusia Indonesia memiliki beberapa sifat pokok: munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan lemah karakternya.
Hari ini, manusia Indonesia tak perlu lagi menyembunyikan kemunafikannya di balik batik dan basa-basi. Mereka memamerkannya terang-terangan lewat caption motivasi palsu di atas foto endorse krim pemutih wajah. Mereka mengunggah konten “bersyukur” sambil menghitung engagement, dan menangis dalam live TikTok bukan karena dosa, tapi karena target viewer belum tembus 10 ribu.
Feodalisme Digital
Feodalisme dulu hidup di istana dan meja birokrasi. Sekarang ia hidup di kolom komentar Instagram. Lihatlah bagaimana netizen berebutan berkata “cakeeep kakaaak!”, “hebaaat boss”, pujian lainnya kepada influencer atau public figure atau pejabat yang bahkan tak kenal nama belakang mereka.
Netizen kita sudah seperti rakyat zaman kerajaan Jawa yang menyembah raja, hanya saja kini rajanya adalah akun centang biru dengan konten makan mie pedas tanpa berkedip.
Dan ketika seorang pejabat upload fotonya sedang bekerja sambil tamasya atau populernya “blusukan”, rakyat digital pun berbaris dalam komentar:
“Luar biasa Pak, semoga sehat selalu… ”
“Pemimpin panutan, semoga makin berkah jabatannya.”
Padahal besoknya, akun yang sama menggerutu di Twitter (sekarang X) soal jalan rusak dan sembako mahal.
Munafik Berplatform
Mokhtar Lubis dulu menyebut manusia Indonesia itu munafik. Tapi kini perlu di revisi: mereka adalah munafik yang melek algoritma. Di depan kamera mereka santun, di belakang layar mereka melempar hoax, menyebar fitnah, dan mencaci sesama hanya karena beda klub bola atau pilihan presiden.
Netizen Indonesia juga punya standar ganda yang nyaris sempurna:
Artis pamer kekayaan → “goals, semangat kerja keras!”
Tetangga pamer rumah baru → “pamer amat sih lo.”
Munafik digital ini diselimuti dalih “konten hiburan”, padahal isinya menertawakan kemiskinan, mempermainkan keimanan, dan mengeksploitasi kesedihan.
Tak Tanggung Jawab, Tapi Suka Menghakimi
Sifat kedua manusia Indonesia:
enggan bertanggung jawab.
Netizen kita bisa dengan enteng bilang:
“ Cuma repost doang kok. Kalau salah, bukan saya yang bikin.”
Tapi dalam hal menghukum, mereka langsung berubah jadi jaksa agung digital.
Baru ada video orang tersandung di minimarket, kolom komentar sudah penuh:
“Pasti karma!”
“Pantas aja… mukanya gak enak dilihat.”
“Tolong usut sampai ke akar-akarnya!!!”
Netizen kita tak perlu data, cukup cuplikan 15 detik dan 3 emoji marah, mereka sudah siap menegakkan keadilan. Sambil rebahan, tentunya.
Percaya Takhayul, Tapi Berkedok Digital Literacy
Ada juga yang doyan nyebar pesan:
” Sebarkan ini ke 15 orang, maka rezekimu lancar. Kalau tidak, HP-mu akan mati dalam 3 hari .”
Itu bukan digital literacy. Itu takhayul bermutasi dalam format PNG.
Manusia Indonesia masih percaya pada jin, tapi kali ini jinnya bernama algoritma:
Kalau like dan komen banyak, berarti saya orang baik.”
“Kalau viral, berarti benar.”
Padahal kadang yang viral itu bukan kebenaran, tapi keributan yang dibungkus clickbait dan dibumbui editan dramatis.
Jempolmu, Cerminan Dirimu
Wahai manusia Indonesia zaman digital, sekarang wajah kalian terpampang di layar ponsel—satu swipe lebih cepat dari renungan, satu komentar lebih kejam dari kritik.
Apakah kalian masih ingin jadi bangsa yang lebih sibuk memuji diri sendiri daripada mengkritik kekurangan?
Lebih suka jadi fans pejabat atau public figure, ketimbang warga negara yang bertanya?

Atau akankah kalian berani mencabut jempol dari layar, dan bertanya:
Apa arti menjadi manusia merdeka… dalam dunia yang menilai kita dari jumlah jempol followers?” [•]
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *