Jakarta, Hotfokus.com
Kasus sengketa lahan Eks Hotel Anggrek Ambon antara ahli waris Muskita Lokollo dengan PLN Cabang Ambon akhirnya menemui titik terang setalah pihak PLN bersedia memindahkan Gardu Hubung A4 Batu Gajah dari lahan tersebut. Ironisnya PLN enggan menanggung biaya pemindahan dan melimpahkannya ke ahli waris Muskita/Lokollo sebagaimana yang tertuang dalam surat Nomor 25686/HKM.04.02/C01070700/2022.
Menurut kuasa hukum ahli waris, Elizabeth Tutuapari, PLN bersedia memindahkan gardu hubung tersebut dari lahan yang telah dipagari beton oleh pihak ahli waris. Namun kejanggalan justru terjadi karena pihak PLN tidak mau menanggung biaya pemindahan gardu dari lokasi.
“Sesuai dengan surat yang diberikan oleh PLN kepada kami tim kuasa hukum, bahwa PLN akan memindahkan gardu ini dengan syarat yang harus dipenuhi oleh para ahli waris, salah satunya agar tanah untuk lokasi pembangunan gardu baru harus disediakan oleh ahli waris dan disertifikatkan atas nama PLN,” kata Elizabeth saat dihubungi Hotfokus.com dari Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Tidak hanya itu, kata dia, biaya untuk gardu hubung eksisting, biaya untuk relokasi meliputi bongkar dan lain-lain semua menjadi tanggung jawab dari pihak pemohon.
“Ini menjadi tanda tanya besar bagi kami kuasa hukum, apalagi saat gardu ini mulai dibangun PLN tidak mendapat ijin dari pihak orang tua para ahli waris maupun pihak ahli waris pengganti yang saat ini menguasai lokasi objek yang telah dieksekusi,” tukasnya.
Selain itu, setiap tim penasihat hukum melakukan pertemuan dengan pihak PT PLN, mereka selalu mengklaim bahwa tanah tersebut statusnya tanah negara. Padahal tanah tersebut merupakan tanah dati, bukan tanah negara
Yang menjadi pemikiran bagi kami, pada saat mereka mau memindahkan barang mereka dari lahan yang sudah dipakai tanpa ijin dari para ahli waris, kenapa semua biaya yang timbul dibebankan kepada ahli waris. Sedangkan
“Ahli waris tidak pernah melepaskan satu pelepasan hak kepada pihak PLN karena ini merupakan tanah dati bukan tanah negara. Lalu bagaimana mungkin para ahli waris harus menanggung semua biaya, padahal PLN sendiri membangun di lahan tersebut tanpa ijin dari para ahli waris,” ketusnya.
Seperti diketahui, sejak tahun 2011 silam, lahan eks Hotel Anggrek ini resmi milik ahli waris Muskita Lokollo setelah terbitnya putusan pengadilan.
“Di lahan tersebut sebelumnya berdiri sejumlah bangunan pemerintah. Namun karena kalah dalam putusan, beberapa bangunan pemerintah telah direlokasi. Tapi hal berbeda dengan PLN yang enggan pergi. Padahal gardu hubung tersebut tanpa guna bangunan yang berlaku,” paparnya.
Elizabeth Tutupary, mengaku telah menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi VII DPR RI, dan Moeldoko Center. Menurut dia, apa yang disampaikan PLN, merupakan suatu tindak pidana korupsi. Karena bertahun-tahun lahan milik Ahli Waris dipakai oleh PLN untuk gardu hubung tanpa ijin dari ahli waris.
“Padahal sebelumnya, PLN tidak mau memindahkan gardu itu karena mengaku, bahwa berdiri diatas tanah milik Negara. Tapi sekarang justru mau memindahkan, tapi biaya klien kami yang tanggung. Ada apa,” tutupnya.
Laporkan PLN ke KPK
Sementara para Ahli Waris, Daniel Lokollo, dan Novita Audi Muskita juga menyayangkan isi surat PLN tertanggal 10 Mei 2022 itu. Menurut Daniel, permintaan agar ahli waris menanggung biaya pemindahan gardu hubung A4, adalah bentuk perlawanan terhadap hukum. Apalagi meminta pihaknya menyediakan sertifikat lahan dengan mengatasnamakan PLN.
“Padahal tidak saja telah menggunakan tanah milik kami dengan perolehan hak yang tidak benar, PLN bahkan telah merampas dan merampok hak-hak keperdataan kami. Terus saat memindahkan mereka mengharuskan kami membayar. Ini tidak manusiawi sekali,” kata Daniel yang diamini Novita Muskita.

Menurut Novita, berdasarkan urutan kejadian yang dibuktikan secara hukum nyata sekali, bahwa PLN tidak mempunyai niat baik dan terbukti melanggar hukum serta diduga melakukan tidak pidana korupsi.
“Oleh sebab itu, kami mohonkan agar Komisi VII DPR RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Moeldoko Centre dapat menindaklanjuti pelaporan kami. Sehingga penegakan hukum dapat kami rasakan selaku masyarakat yang tertindas,” pinta Novita.

Lebih jauh ia mengatakan, bahwa ahli waris memiliki tanah berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor 21 Tahun 1950. Saat itu yang berperkara, adalah Simon Latumalea melawan Ferdinan dan Ezer Soplanit (tdak ada pihak yang lain) yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap pada tanggal 5 April 1950. Kemudian dipertahankan oleh adik perempuan Simon Latumalea bernama Maria Muskita/Latumalea.
“Kami merupakan pengganti ahli waris yang sah sebanyak 13 orang. Diberikan kuasa kepada kami untuk mengurus dati Sopiamaluang yang telah di Eksekusi tertanggal 25 Maret 2011. Dan Berita Acara Eksekusi Pengosongan tertanggal 11 April 2011,” pungkasnya.(RAL)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *