Jakarta, Hotfokus.com
Sengketa pajak antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT (Persero) Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang ditempuh melalui proses hukum di Mahkamah Agung (MA) telah berkekuatan hukum tetap.
Pada halaman penjelasan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang disampaikan pada Hari Senin tanggal 4 Januari 2021, hasil sengketa ditingkat MA itu menetapkan bahwa PGN berada pada pihak yang kalah dan diharuskan memenuhi tuntutan Ditjen Pajak. Kondisi ini disebut membahayakan Pertamina sebagai holding atau induk usaha dari PGN.
“Kebijakan holding dan sub holding antara Pertamina dan PGN mempengaruhi posisi masing-masing Dewan Direksi dan Dewan Komisaris sehingga dengan sadar menerima implikasi atas penyelesaian permasalahan hukum atau kasus korporasi yang telah terjadi beserta tanggungjawab manajerial yang menyertainya,” ujar Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, Rabu (24/2/2021).
Sebagai informasi, hasil akhir sengketa ini berbeda dengan keputusan vonis majelis hakim Pengadilan Pajak sebelumnya yang mengabulkan permohonan PGN pada Tahun 2019 atas upaya hukum banding yang diajukan oleh Ditjen Pajak. Walaupun kasus dan landasan hukumnya sama, yaitu merujuk pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) Pasal 4 ayat (2) beserta penjelasannya, namun keputusan hukumnya berbeda.
Perbedaan hasil sengketa ini berasal dari penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN, yang menyatakan ‘Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat’ dikenakan PPN.
Dilain pihak, penjelasan yang lebih rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012, pasal 1 ayat 1 menyatakan, bahwa gas bumi merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Cakupan soal gas bumi yang tidak dikenai PPN adalah gas bumi yang dialirkan melalui pipa, liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG). Sementara dalam pasal 2 PMK tersebut dinyatakan, bahwa Liquified Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi masyarakat atau yang dikenal sebagai elpiji tidak termasuk dalam cakupan gas bumi yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Dengan demikian, elpiji merupakan barang kena pajak dan dikenakan PPN, sedangkan gas bumi yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG tidak kena PPN, berarti terdapat penafsiran yang berbeda dari majelis hakim yang mengadili sengketa ini.
“Dalam perspektif inilah, maka upaya Dirut PGN atas penyelesaian permasalahan sengketa pajak dengan Ditjen Pajak menjadi bagian yang tidak terpisahkan atas posisi BUMN Pertamina dan PGN, sebelum maupun sesudah kebijakan holding ditetapkan,” ujar Defiyan.
“Dan, tentu saja akibat yang ditimbulkan dari kekalahan dalam sengketa pajak di MA bukanlah merupakan perwujudan dari tidak kompeten dan profesionalnya Dirut PGN Suko Hartono seorang diri, sedangkan jajaran Direksi dan Komisaris telah berulangkali diganti,” sambung Defiyan. (SNU/RIF)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *