ads_hari_koperasi_indonesia_74

Patra Niaga Dijebol oleh Hutang Mitranya Ratusan Milar Rupiah

Patra Niaga Dijebol oleh Hutang Mitranya Ratusan Milar Rupiah

Jakarta,hotfokus.com

PT Asmin Koalindo Tuhup (AKT), anak usaha PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BLEM) milik pengusaha batubara Samin Tan yang terjerat kasus korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 diketahui memiliki utang kepada Patra Niaga hingga mencapai lebih dari Rp 451,66 miliar.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahean yang dihubungi wartawan, Rabu (26/9) pagi menyayangkan berlarut-larutnya kasus yang merugikan anak usaha Pertamina itu.

Ia justru mempertanyakan kinerja auditor negara, mengapa perbuatan melanggar hukum ini tidak ditemukan selama bertahun-tahun. “Kami mempertanyakan auditor negara, mengapa hal ini tidak ditemukan selama bertahun tahun atau sengaja ditutupi?” tanya Ferdinand.

Menurut dia, semestinya hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan ini sejak awal. “Tapi kenapa bisa belakang ketahuannya?” ketusnya.

Lebih jauh ia mengatakan, terbukanya perbuatan Samin Tan yang ternyata memiliki utang hampir setengah trilliun kepada Patra Niaga jelas merupakan satu perbuatan melanggar hukum. Ironisnya, peristiwa ini telah berlangsung sejak 2009, dan bila melihat proses terjadinya peristiwa ini, sangatlah janggal bisa terjadi dan tidak seharusnya terjadi.

“Proses pemberian HSD kepada perusahaan Samin Tan tanpa membayar alias utang hingga mencapai ratusan milliar sarat dengan pelanggaran hukum. Saya pikir negara telah dirugikan dalam jumlah besar,” tukasnya.

Untuk itu, ia meminta agar kasus ini segera diselidiki oleh KPK karena kerugiannya cukup besar. “Pejabat Patra Niaga yang menanda tangani perjanjian dengan Samin Tan dan pihak perusahaan Samin Tan harus dijadikan tersangka. Ini tidak main-main, negara dirugikan besar. Swasta nenikmati uang rakyat sementara subsidi untuk rakyat diambil, ini ketidak adil,” ketusnya.

“Kami mendesak KPK agar segera turun tangan memeriksa kasus ini dan menangkap para pelakunya,” pungkasnya.

Sementara berdasarkan data yang dihimpun redaksi, jumlah utang tersebut merupakan besaran yang diakui oleh PT AKT dalam rapat verifikasi di Pengadilan Niaga yang merupakan konversi lebih dari US$ 33,59 juta atau minus lebih dari Rp 15,16 miliar. Utang PT AKT ke Patra Niaga bermula pada 10 Februari 2009, saat ditekennya perjanjian jual beli BBM jenis solar alias high speed diesel (HSD).

Sesuai perjanjian dan berdasarkan purchase order, disepakati harga jual HSD Patra Niaga ke PT AKT dengan harga publikasi Pertamina dikurangi potongan harga empat persen dari MOPS (Mean Oil Platts Singapore).

Sedangkan besaran volume diperkirakan 1.500 kiloliter (kl) per bulan yang berlaku efektif satu tahun. Sesuai pasal 7 cara pembayaran, diatur pola pembayaran kredit 30 hari kalender setelah tanggal berita acara penerimaan BBM, atau dengan menggunakan L/C (letter of credit) atau SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri).

Dokumen yang diperoleh telah menunjukkan, terjadi addendum (perubahan) perjanjian pada 9 Februari 2010, yakni perubahan terhadap jangka waktu diperpanjang satu tahun dan volume pengiriman perkiraan menjadi 6.000 kl per bulan.

Lalu, terjadi lagi addendum II perjanjian pada 1 Juni 2011. Isinya, perubahan jangka waktu perjanjian menjadi berlaku efektif terhitung 10 Februari 2009 hingga 9 Februari 2013.

Kemudian terjadi lagi perubahan harga potongan menjadi 5,5 persen MOPS dan penambahan volume pengiriman menjadi 7.500 kl per bulan.

 

Kredit Macet

Selain kasus di atas, ada juga kredit macet PT AKT ke Patra Niaga. Kurun waktu 2009-2016, suplai HSD oleh Patra Niaga yang belum dibayarkan PT AKT yang tercatat mencapai lebih dari US$ 39,56 juta ditambah Rp 21,34 miliar.

Pada 2012, ada kemacetan pembayaran PT AKT ke Patra Niaga, sehingga per Juli 2012, Patra Niaga menghentikan suplai HSD ke PT AKT. Sementara total tagihan per 2012 adalah US$ 36,39 juta plus Rp 18,33 miliar.

Patra Niaga terus berupaya menagih piutang tersebut tetapi tidak berhasil. Karena Patra Niaga terus gagal menagih piutangnya, akhirnya menghasilkan kesepakatan I mekanisme penyelesaian utang.

Pada 2013, Patra Niaga berhasil melakukan penagihan sebesar US$ 2,29 juta. Selanjutnya dilakukan rekonsiliasi utang piutang yang belum berhasil direkonsiliasi dan penerbitan credit note.

Lalu pada 2014, berdasarkan temuan Satuan Pengawas Intern (SPI) Pertamina atas tagihan di luar kesepakatan yang kemudian telah di-billing sebesar US$ 7,87 juta plus Rp 3,32 miliar, dan dilakukan rekonsiliasi ulang, termasuk tagihan lainnya yang belum berhasil direkonsiliasi dan dugaan tindak pidana.

Pada 2014 juga upaya penagihan piutang Patra Niaga ke PT AKT menghasilkan Kesepakatan II untuk sisa beberapa utang yang belum berhasil direkonsiliasi.

Patra Niaga berhasil melalukan penagihan sebesar US$ 1,65 juta, sehingga total pembayaran US$ 3,94 juta. Posisi tagihan menjadi US$ 39,57 juta plus Rp 21,34 miliar.

Pada 2016, PT AKT mengajukan voluntary PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke Pengadilan Niaga dan telah disahkan Putusan Homoligasi pada 4 April 2016.

Jumlah tagihan Patra Niaga yang diakui sementara oleh pengurus sebagai utang usaha pihak ketiga dan berhak untuk mengikuti voting atas rencana perdamaian adalah sebesar Rp 451,66 miliar atas konversi US$ 33,59 juta (minus Rp 15,16 miliar).

Skema pembayaran dengan grace period dua tahun sejak tanggal putusan homologasi dan tenor pembayaran delapan tahun.(er)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *