ads_hari_koperasi_indonesia_74

Fadli Zon : BSSN Bukan Polisinya Demokrasi

Fadli Zon : BSSN Bukan Polisinya Demokrasi

JAKARTA — Pelaksana Tugas Ketua DPR RI, Fadli Zon, menilai tugas dan kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tidak jelas. Menurutnya keamanan siber sebagian merupakan kewenangan Kepolisian, sebagian lain kewenangan TNI.

Mengacu pada praktik di negara lain, papar Fadli, keamanan siber meliputi ancaman (cyber threat), kejahatan (cyber crime), dan perang (cyber conflict).

“Sesuai undang-undang, penanganan kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia merupakan menjadi tanggung jawab Polri, termasuk didalamnya cyber terrorism. Sedangkan, untuk perang siber (cyber conflict), hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan institusi TNI,” ungkap Fadli, dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (8/1).

Sementara Peraturan Presiden (Perpres) 53/2017 yang menjadi dasar pembentukan BSSN, menurut Fadli hanya menyebut keamanan siber tanpa merinci taksonominya. Karena tidak jelas maka kewenangan dan tugas BSSN dianggap rentan untuk ditafsirkan secara luas.

Sebenarnya, lanjutnya, desain awal pembentukan BSSN adalah lembaga koordinasi terhadap lembaga yang sudah ada seperti Polri, TNI, BIN, bahkan Kemen Kominfo. Karena itu dulu di bawah Menko Polhukam.

Sebagai lembaga koordinasi BSSN menyusun kebijakan strategis, melakukan koordinasi, serta bertanggungjawab ketika terjadi ancaman atau insiden serangan siber. “Namun dengan desain yang sekarang, sesudah Perpres-nya diubah menjadi langsung berada di bawah Presiden, tugas BSSN rentan tumpang tindih, karena merasa berkuasa. Pernyataan Kepala BSSN mengenai perlunya kewenangan penangkapan dan penindakan menunjukkan tendensi itu,” paparnya.

Sangat penting diingatkan, lanjut Fadli, BSSN dibentuk menggunakan Perpres sehingga kewenangannya tidak boleh melampaui lembaga yang dibentuk menggunakan Undang-Undang.

“Karena dunia maya juga menjadi bagian dari ekosistem demokrasi, kitapun menginginkan agar BSSN turut menjaga dan memperkuat hal itu. BSSN tak boleh menjadi Polisi demokrasi. Dunia maya memang butuh sensor, tapi itu hanya terbatas untuk kejahatan narkoba, pornografi, dan terorisme, bukan untuk kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat. Kita tak mendesain BSSN menjadi lembaga sensor seperti yang berlaku di RRC,” tegas politisi Gerinda itu.

Pernyataan berbau kontroversial yang pernah dilansir Djoko Setiadi setelah dilantik menjadi Kepala BSSN menurut Fadli Zon justru menyadarkan semua pihak tentang penting mengontrol lembaga itu. “Artinya, BSSN harus kita dorong agar bekerja sesuai aturan, kredibel, akuntabel, dan transparan. Ia juga harus terbuka terhadap pengawasan eksternal. BSSN adalah alat negara, bukan alat rezim untuk melanggengkan kekuasaan. BSSN jangan berperan sebagai polisi demokrasi,” pungkasnya. (kn)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *