ads_hari_koperasi_indonesia_74

Daya Saing Perawat Indonesia Payah

Daya Saing Perawat Indonesia Payah

JAKARTA — Setiap tahun jumlah lulusan sekolah keperawatan meningkat, namun kebanyakan dari mereka terpaksa harus menganggur atau mencari pekerjaan di luar keahlian. Hal itu terjadi karena peningkatan jumlah lulusan pendidikan itu tidak diimbangi daya serap oleh pemerintah. Bahkan menurut Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) Muhammad Hadi, daya serap pemerintah nol persen.

Rilis Humas DPD RI menyebut, jumlah lulusan yang terus bertambah tiap tahun dan tidak terserap oleh pemerintah menyebabkan AIPNI bertekad menyuplai tenaga perawat ke luar negeri untuk bekerja di sana.

Hal-hal itu diungkap Muhammad Hadi dalam rapat dengar pendapat (RDP) DPD RI terkait pengawasan pelaksanaan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, di Jakarta, Rabu (29/11).

Menurutnya, kebutuhan luar negeri akan jasa perawat sangat tinggi. Sayangnya perawat Indonesia belum dapat menyaingi perawat-perawat asal negara lain seperti Filipina.

“Saat ini kita baru mengirim ke Jepang karena proses seleksinya sangat rendah. Hanya 10 persen perguruan tinggi kita yang bisa bersaing. Hal itu terkendala dari SDM atau sarana prasarana. Terutama di daerah timur, sehingga tidak memiliki kesempatan,” papar Hadi.

Sementara Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Vokasi Keperawatan Indonesia Yupi Supartini menambahkan, peserta didiknya banyak yang berasal dari diploma keperawatan. “Namun kemampuan peserta didik kami dari diploma lebih rendah dibandingkan ners,” papar dia.

Menurutnya hal itu dipengaruhi oleh sejumlah masalah. Yupi antara lain menyebut biaya praktek di rumah sakit yang dinilai memberatkan para peserta didiknya. Dikatakannya, semua rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, mengharuskan adanya biaya praktek.

“Di mana biaya tersebut untuk praktek dan manajemen, sehingga hal itu membengkak maka memberatkan bagi peserta didik kita. Bahkan di rumah sakit pemerintah pembimbingnya hanya SPk (Sarjana Perawat Kesehatan) dan D3 atau setara dengan peserta kita. Harapan kami pembimbing harus Sarjana,” terang Yupi.

Sebelumnya Wakil Ketua Komite III DPD RI, Delis Julkarson Hehi, mengatakan bahwa profesi perawat di Indonesia memang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Karena itu pihaknya saat ini tengah fokus membahas nasib para perawat.

“Dalam masa sidang ini kami hanya fokus membahas perawat di tiga bulan terakhir ini. Persoalannya, di daerah-daerah lulusan dari sekolah perawat banyak yang tidak punya pekerjaan,” ucapnya.

Dia tidak menampik ada juga lulusan keperawatan yang sudah bekerja sebagai perawat atau karyawan tetap di rumah sakit. Namun jumlahnya tergolong masih sedikit. “Lulusan keperawatan memang banyak namun jarang setelah lulus dia bekerja sebagai perawat,” ujar senator asal Sulawesi Tengah itu.

Delis juga menyoroti masalah biaya akreditasi yang justru membebani. Apalagi adanya biaya dari rumah sakit bagi para mahasiswa yang ingin praktek. “Ini persoalan kita selama ini. Bahkan ada rumah sakit yang menjadikan lahan bisnis bagi perawat yang ingin praktek,” ujar dia.

Sementara itu, Anggota Komite III DPD Maria Goreti menambahkan bahwa banyak yang masih belum tahu adaya UU No. 38 Tahun 2014. Namun pada dasarnya UU ini bisa menambah semangat para perawat.

“Sebelumnya, kami mendesak agar UU ini segera disahkan oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek. Ia justru khawatir nantinya akan banyak yang meminta UU baik itu UU Farmasi dan lainnya,” beber dia. (kn)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *